Pendapat mengenai makruh tanzih dipegang oleh Syaikh Mutawalli. Hukum mencium istri saat puasa Ramadhan dilarang, tetapi tidak membatalkan puasa meskipun terangsang, asal tidak sampai mengeluarkan air mani dan melakukan hubungan intim.
Sedangkan makruh tahrim disebutkan oleh Abu Thayyib, Al-Abdari, Ar-Rafi’i, dan sebagian ulama lain, yang mana mencium istri dengan syahwat dan terangsang sudah membatalkan puasa.
Sementara itu dilansir dari situs resmi Nahdlatul Ulama, para ulama merasionalisasi pembedaan pendapat tersebut dengan argumen bahwa pada usia muda seseorang sedang berada pada puncak hasrat dan kemampuan seksualnya.Sedangkan, pada orang tua biasanya hasrat dan potensi seksualnya telah banyak menurun.
Artinya, ciuman yang dilakukan oleh pasangan muda dikhawatirkan dapat menyeret pelakunya pada hubungan intim karena kurang mampu untuk mengendalikan nafsu.
Meski demikian, masalah utamanya dari kasus berciuman pada saat puasa Ramadhan bukan tua atau muda, tetapi apakah tindakan tersebut mengarahkan pelakunya pada hal yang membatalkan puasa atau tidak (ejakulasi atau hubungan intim).
Pasalnya, salah satu perkara yang membatalkan puasa adalah ejakulasi (inzal) akibat persentuhan kulit dan bersenggama walaupun tanpa ejakulasi.
Hukum ini sesuai dengan kaidah Fiqh ‘li wasail hukmil maqashid’ terhadap hal-hal yang mendukung, mendorong, atau menyebabkan diberlakukan hukum yang sama hasil akhirnya.
Jadi, saat ditentukan bahwa interaksi seksual langsung dan ejakulasi karena persentuhan kulit membatalkan puasa, maka perbuatan-perbuatan lain yang mengarah kepada keduanya juga harus dihindari.
Pelukan, genggaman, dan sejenisnya, dengan nalar dan pertimbangan serupa, disamakan hukumnya dengan mencium.
Kesimpulannya, ciuman saat puasa batal atau tidak tergantung dari tindakan selanjutnya.