Dalam derasnya arus informasi, riuhnya media sosial, dan kebisingan politik yang tak kunjung reda, kita justru semakin sering menjumpai satu sikap yang sunyi: diam.
Ia terlihat sederhana, bahkan kerap disebut sebagai kebijaksanaan. Namun dalam lanskap sosial-politik yang timpang, diam bukanlah kebajikan netral. Ia bisa jadi isyarat ketundukan, ketakutan yang dilembagakan, atau lebih jauh: hasil dari rekayasa sistemik menuju pembungkaman kolektif.
Dalam masyarakat yang menuju distopia—yakni tatanan yang dipenuhi kontrol total, pembatasan berpikir, dan penghapusan kebebasan—diam adalah suara yang hilang, atau tepatnya, suara yang dipadamkan.
Michel Foucault menyatakan bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja dengan kekerasan, tetapi melalui kontrol wacana: menentukan apa yang bisa dikatakan dan apa yang harus didiamkan. Ketika masyarakat berhenti berbicara—bukan karena tak tahu, melainkan karena takut atau terbiasa diam—maka kekuasaan bekerja dengan sunyi, namun efektif.
Diam bukanlah kekosongan, tetapi sikap yang telah dilatih untuk tidak menggugat, tidak bersuara, dan tidak menyentuh apa yang dianggap tabu. Dalam situasi ini, diam menjadi semacam partisipasi pasif yang secara tidak sadar memperkuat status quo yang menindas.
Gambaran ini tidak asing dalam fiksi-fiksi distopia seperti 1984 karya George Orwell atau Brave New World karya Aldous Huxley.
Dalam dua novel tersebut, masyarakat diajarkan untuk diam, tidak berpikir kritis, dan menerima kebohongan sebagai kebenaran. Rezim tidak perlu membungkam karena rakyat telah membungkam dirinya sendiri. Ini adalah bentuk penjinakan yang sangat halus: masyarakat dibuat jinak oleh rutinitas, disibukkan oleh hal-hal remeh, dan dilatih untuk tidak terganggu oleh penderitaan orang lain.
Fenomena ini menemukan gaungnya dalam realitas Indonesia hari ini. Tidak sedikit yang memilih diam karena trauma masa lalu, takut distigma sebagai "radikal" atau "anti-NKRI", atau karena tidak percaya lagi bahwa suara bisa mengubah keadaan.
Diam menjadi strategi bertahan hidup sekaligus pertanda mundurnya keberanian kolektif. Masyarakat dibiasakan untuk tidak reaktif, tidak kritis, dan akhirnya tidak peduli.
Islam memandang diam yang pasif dan tak melahirkan amal sebagai tanda lemahnya iman.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, ymaka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa diam terhadap keburukan bukanlah sikap spiritual yang netral, melainkan indikasi surutnya ruh iman. Diam membuka jalan bagi normalisasi dosa dan kekeliruan, melemahkan nalar kolektif, dan merusak keberanian moral umat.