Harianesia , Opini
Sarikat Dagang Islam Adalah Pelopor Kebangkitan Nasional, Bukan Budi Utomo
Sejarah kebangkitan nasional Indonesia sering dimulai dari penokohan Budi Utomo sebagai organisasi modern pertama yang memperjuangkan kepentingan bangsa. Tanggal 20 Mei 1908, hari kelahiran Budi Utomo, bahkan ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Namun, pembacaan sejarah semacam ini seringkali bias elite, poltik, dan Jawa-sentris. Dalam realitas sosial yang lebih luas, justru Sarikat Dagang Islam (SDI)—yang kemudian berkembang menjadi Sarekat Islam (SI)—yang layak disebut sebagai pelopor sejati kebangkitan nasional Indonesia.
SDI didirikan pada tahun 1905 oleh Haji Samanhudi, seorang saudagar batik dari Surakarta. Awalnya, organisasi ini ditujukan untuk melindungi kepentingan para pedagang pribumi dari dominasi ekonomi etnis Tionghoa yang kala itu mendapat privilese dari pemerintah kolonial. Akan tetapi, di tangan tokoh seperti HOS Tjokroaminoto, organisasi ini tumbuh menjadi gerakan massa nasional yang memperjuangkan kepentingan umat Islam dan bangsa Indonesia secara luas. Berbeda dengan Budi Utomo yang anggotanya terbatas pada kaum priyayi Jawa dan lebih bersifat elitis serta kultural, Sarekat Islam berhasil menjangkau rakyat luas—terutama dari kalangan santri dan pedagang kecil—di berbagai daerah di Nusantara. Anggotanya mencapai ratusan ribu orang dalam waktu singkat, menjadikannya organisasi massa terbesar di Hindia Belanda pada dekade 1910-an.
Sarekat Islam memperkenalkan bentuk organisasi modern yang bercorak kerakyatan, religius, dan nasionalis. Ia membentuk cabang-cabang di berbagai daerah, menerbitkan surat kabar, mengadakan kongres, bahkan mengutus wakilnya ke Volksraad (Dewan Rakyat). SI juga menjadi ruang pembentukan kader-kader politik Indonesia awal, termasuk tokoh-tokoh seperti Agus Salim, Abdul Muis, dan Tan Malaka.
Penting dicatat bahwa nasionalisme Indonesia tidak lahir dari ruang kelas atau istana, melainkan dari denyut nadi rakyat biasa yang resah oleh ketidakadilan ekonomi dan politik kolonial. Dalam konteks ini, Sarekat Islam-lah yang menyuarakan nasionalisme radikal—sebuah kesadaran akan keharusan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, bukan sekadar memperbaiki kedudukan priyayi di bawah sistem kolonial.
Maka, jika kebangkitan nasional dimaknai sebagai momen kesadaran kolektif rakyat untuk membebaskan diri dari kolonialisme dan membentuk bangsa yang merdeka, Sarekat Islam lebih layak disebut sebagai pelopor. Ia bukan hanya menghidupkan cita-cita nasionalisme, tetapi juga mengorganisasi dan menggerakkan rakyat untuk memperjuangkannya.****
Penulis: Nazaruddin (Pengamat Sosial)
Tulisan ini adalah artikel asli karya penulis, isi dan segala hal terkait artikel ini merupakan tanggungjawab penulis.