Berita , Nasional
Calon Legislatif Perempuan di Indonesia Berkurang, Media Singapura Soroti Penerapan Tindakan Afirmatif Gender
Aturan baru ini melanggar Undang-Undang Pemilu tahun 2008 dan merusak tindakan afirmatif untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik.
"Kami percaya bahwa proses politik yang inklusif dan adil akan menghasilkan kebijakan yang mempromosikan keadilan untuk semua. Penurunan jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam pemilihan akan memengaruhi pembuatan kebijakan," kata Hadar.
Sebanyak 240,8 juta orang di Indonesia, demokrasi terbesar ketiga di dunia, akan memberikan suara pada 14 Februari 2024, untuk memilih presiden, anggota DPR, DPRD, dan DPD.
Indonesia pertama kali memperkenalkan kuota 30 persen pada pemilu 2004, dan meningkatkan pengaturannya dengan mensyaratkan bahwa dari setiap tiga kandidat legislatif, satu di antaranya harus perempuan pada pemilu 2009.
Partisipasi lebih banyak perempuan dalam politik dianggap penting untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan gender, terutama di negara seperti Indonesia, di mana lima dari 100 perempuan di atas usia 15 tahun buta huruf pada tahun 2020.
Dosen hukum pemilu di UI, Titi Anggraini menggambarkan kegagalan sebagian besar partai politik untuk memenuhi kuota untuk perempuan di partai politik sebagai "kemunduran besar" untuk pemilihan inklusif dan demokrasi di Indonesia.
Sementara anggota DPR RI Diah Pitaloka mengatakan bahwa partai politik harus memiliki strategi khusus untuk memperkuat dan mendukung kader perempuan.
"Kandidat perempuan telah mengamankan hampir 21 persen dari total kursi Parlemen dalam pemilihan sebelumnya, dan hal ini merupakan bukti bahwa mereka adalah calon pengumpul suara potensial," kata Diah.
Diah menambahkan dengan melibatkan calon legislatif perempuan sebagai strategi kemenangan, dan partai akan mendapatkan manfaat. ****
Baca artikel menarik lainnya di Harianejogja.com