Cerpen Era Cakra Perlawanan
“Kita sudah sampai.” Ucap pemuda itu. Kemudian dia bergegas, berlari menuju altar itu.
Dilihatnya sosok manusia yang duduk bersila menghadap pada sebuah batu besar. Ia hening tanpa suara dan tanpa gerakan.
Tubuhnya kecil, namun tidaklah kurus. Kotor namun tidaklah jorok. Dan Ia duduk tegak dengan hikmat di depan batu yang mulai nampak seperti cermin.
Pemuda itu mendekat dengan penuh semangat dan harapan kepada sosok itu. Ia berteriak
“Maha Guru, tolonglah kami! Tolonglah kami manusia yang malang!”
Suasana lembah itu begitu hening. Suara air yang mengalir dari kolam menuju sungai kecil di samping lembah serasa bersatu dengan keheningan daun yang tertiup angin.
Pemuda itu berhenti. Tidak ada jawaban dari sosok itu.
“Maha Guru! Tolong jawablah! Anda yang paling bijaksana di seluruh negeri ini! Tempat di mana manusia negeri ini belajar untuk menjadi baik dan bijaksana! Tolong ajarkan kami menjadi lebih baik lagi!” Pemuda itu meneruskan.
Tubuhnya terpaku di atas tanah sembari menatap tubuh yang bayanganya terpantul batu mengkilap di atas altar.
Lantas ia mendekat dengan kaki yang gemetaran. Kedua kakinya terasa begitu berat mendekat ke arah sosok itu. Jantungnya seketika berdegup sangat kencang dan terus berubah menjadi lebih cepat seiring ia lebih dekat dengan altar.
“Maafkan aku wahai Maha Guru. Kami telah berbohong. Tidak ada makhluk semacam monster menyeramkan yang menghancurkan negeri kami! Kami lah, para manusia yang enggan mengaku kalau manusia lain yang menghancurkannya-”
“-Kami bertarung dengan sesama saudara. Berebut kekayaan dan kemenangan. Membunuh anak cucu dan darah daging kami sendiri. Bahkan ada dari kami yang tidur tenang di atas mayat orang lain! Kami telah dihancurkan oleh diri kami sendiri! Maafkan kami wahai Sang Maha Guru!”