Cerpen Era Cakra Perlawanan
Pemuda itu sangat fokus untuk menyelesaikan perjalanan mereka. Ia terus mendorong kedua kawannya untuk tidak menyerah dan terus berjalan meskipun di hari yang berat sekali pun.
“Pak Tua dan Bocah! Negeri kita sedang menangis. Hari-hari mereka jauh lebih sulit dibandingkan kita! Pemerintah yang hancur dan ancaman untuk kehilangan nyawa karena monster-monster di sana, jauh lebih berat dibandingkan perjalanan ini! Kita tidak boleh berhenti hanya karena lelah dan lapar!” ucapnya satu kali ketika anak kecil itu mengeluh kelaparan.
Orang tua bisu itu tidak berusaha mendebat ucapan pemuda itu. Sebaliknya, ia memohon agar mereka bisa beristirahat setidaknya satu dua kali untuk makan karena anak kecil itu sudah begitu kurus.
“Anak ini juga bagian dari masa depan negeri kita. Kita harus merawatnya.” Tulis orang tua bisu itu membujuk agar si pemuda mau mengindahkan permintaannya. Pemuda itu tidak mampu berbahasa isyarat.
“Baiklah! Kamu benar. Kita juga harus menjaga anak kecil ini.”
Sejak saat itu mereka selalu beristirahat di saat sarapan, makan siang, dan makan malam. Meskipun pemuda itu selalu menolak ketika diberi makan gratis dari penduduk dan memilih mengeluarkan uang saku yang didapatnya dari menolong orang di jalan. Sementara orang tua bisu dan anak kecil itu dengan senang hati menerima kebaikan warga negeri itu.
Setelah beribu hari berlalu, sampailah mereka di depan gapura gunung tempat Maha Guru tinggal.
Beribu anak tangga menyambut mereka. Susunan batu yang menempel pada permukaan gunung yang terus membumbung menembus kabut dan awan membuat si anak kecil terpukau.
Sementara si pemuda hanya berhenti sesaat lalu melanjutkan langkah kakinya menapak pada tujuan akhir mereka, menemukan Sang Maha Guru untuk menyelamatkan negeri.
Gunung itu begitu dingin dengan udara yang sangat berkabut. Napas ketiga orang itu mengepul menjadi asap putih selagi menapaki tangga yang ujungnya tidak terlihat mata.
Lumut dan tumbuhan hijau menghiasi tangga dan sekitarnya dengan apik, begitu berbanding terbalik dengan tempat mereka tinggal yang dipenuhi dengan asap api dan tulang belulang yang entah berasal dari mahluk hidup apa.
Setelah beberapa lama, tanpa terasa tangga itu mulai nampak berujung. Dengan sebuah altar di ujung pemandangan di tengah-tengah lembah gunung yang dihiasi sebuah kolam dan ikan yang melompat-lompat.