Cerpen Zaki Zarung. (Ilustrasi: hariane.com)
“Uang 50 juta itu akan aku gunakan untuk membangun sekolah. Kamu tahu kan, sekolahku hancur. Kasihan anak-anak. Kalo menunggu bantuan, pasti akan lama. Apalagi sekolah swasta kecil. Uang dari yayasan tidak cukup,” kata Ahmad tiba-tiba.
Ternyata kesedihannya tak sekedar sebab pelabuhan rindunya, ibu tercinta telah tiada menjadi korban gempa, namun jiwa guru juga merasuk dalam keprihatinan rasa.
Ia memilih murid-muridnya. Ia lupa dengan mobilnya. Ia lupa dengan hancurnya rumahnya. Sebab ingatannya hanyalah indahnya kelas dalam wangi ilmu pengetahuan yang menguar dari para pencari.
Fifah menelan ludah. Bingung antara segera mengiyakan atau memberi alternatif lain.
Ia tahu, bahwa Ahmad sangat mencintai murid-muridnya. Ia tahu bahwa jika punya keinginan yang baik, maka Ahmad akan berjuang untuk meraihnya.
Ia sangat yakin, Ahmad juga bisa mencari uang lagi untuk memperbaiki rumahnya yang masih berupa tenda. Ia yakin, bahkan teramat yakin, bahwa Ahmad-lah yang akan membawanya menuju kebahagiaan abadi dalam mahligai rumah tangga.
Namun ia kurang yakin dengan keras hati ayahnya. Apalagi kemarin ada tamu sekeluarga, yang katanya hendak menjodohkan Fifah dengan anaknya. Fifah hendak mengungkapkan semua, tapi kali ini ia hanya diam.
“Kamu lebih tau mas, yang paling baik kamu lakukan,” Fifah berkata lirih, sambil meraih tangan Ahmad.
“Aku pamit mas,” Fifah berlalu bersama gerimis yang mulai menderas. Seperti air matanya yang mulai basah menetes.
***
Pak Nang matanya menyipit, di dalam siaran TV, terlihat seorang anak muda yang sangat ia ingat wajahnya. Pemuda itu menerima penghargaan dari Bapak Presiden sebagai guru inspiratif tepat di peringatan Hari Guru Nasional 25 November di istana negara.