Sebagai hasilnya, keputusan Palestina untuk menanggapi kebrutalan rezim apartheid Israel tidaklah mengejutkan.
Algeria menyatakan "solidaritas penuh dengan Palestina" sejak awal perang. Sedangkan Komisi Uni Afrika di bawah Moussa Mahamat Faki, menyatakan keprihatinan atas kekerasan dan menyalahkan "penolakan terhadap hak-hak mendasar warga Palestina".
Alasan terpecahnya dukungan negara Afrika terhadap Palestina dan Israel ini disebut disebabkan karena sebagian negara memiliki ikatan batin dengan Palestina. Sedangkan negara pendukung Israel memiliki kepentingan soal pertukaran teknologi, dan bantuan militer.
Negara-negara Afrika yang masih menyimpan rasa sakit dari pemerintahan kolonial yang kejam pada 1960-an lebih simpatik terhadap perjuangan orang Palestina yang terusir dari tanah dan rumah mereka pada 1948.
Hubungan Aljazair-Palestina sangat bersejarah dan emosional salah satunya disebabkan karena masyarakatnya yang sebagian besar menganut Islam.
Afrika Selatan pasca-apartheid telah menjadi pendukung Palestina yang paling gigih dengan Nelson Mandela yang memperjuangkan orang-orang kulit hitam Afrika Selatan melawan pemerintahan kulit putih.
Sementara di sisi lain dukungan dari beberapa negara Afrika lainnya seperti Kenya, Zambia, Ghana kepada Isarel lebih mengarah ke kepentingan diplomatik negara-negara tersebut.
Sebelum perang Hamas Israel sejak awal Oktober ini pecah, hanya sedikit negara Afrika yang mempertahankan hubungan dengan Israel, sementara sebagian besar memutuskan hubungan pasca perang 1973.
Namun, hari ini, sikap itu telah berbalik secara dramatis di mana 44 dari 54 negara Afrika mengakui keberadaan negara Israel, dan hampir 30 di antaranya telah membuka kedutaan atau konsulat di Tel Aviv.