HARIANE – Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo, mendatangi Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk meminta informasi secara terbuka dari kampus terkait skripsi dan ijazah Presiden Jokowi, Selasa (15/4/2025).
Tak hanya Roy Suryo, dalam kesempatan ini turut hadir pegiat sosial Tifauzia Tyassuma, Rismon Hasiholan Sianipar, serta mantan anggota Majelis Wali Amanat UGM, Amien Rais.
Roy mengatakan, pertemuan dengan pihak UGM berlangsung cukup singkat dan sempat terjadi ekskalasi karena adanya saling debat antarpihak.
“Tapi intinya begini, kami ke sini ingin melihat skripsi Pak Jokowi. Tadi sempat dipertanyakan oleh Sekretaris UGM, katanya itu melanggar Undang-Undang Keterbukaan Informasi. Saya bilang, yang mengesahkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi itu saya. Jadi, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 membolehkan setiap orang untuk melihat skripsi karya orang lain. Itu tidak dilarang, akhirnya ditunjukkan,” katanya, Selasa (15/4/2025).
Ia menyampaikan bahwa pihak UGM telah menunjukkan skripsi tersebut dan membenarkan apa yang selama ini disampaikan. Akan tetapi, skripsi milik Jokowi itu memang memiliki beberapa perbedaan pada ketikannya.
“Di batang tubuh diketik biasa, sedangkan di bagian depan menggunakan cetakan yang tidak sesuai dengan zamannya. Pada lembar pengesahan juga tidak ada tanda tangan dari dosen penguji,” jelasnya.
Ia melanjutkan, teman-teman seangkatan Jokowi memang menyebutkan soal skripsi dan aktivitas perkuliahannya, meski secara faktual tidak ada bukti berupa foto atau dokumentasi lainnya. Ia juga mengaku telah diberi tahu lokasi KKN Jokowi dan akan melakukan kroscek atas informasi tersebut.
Namun demikian, ia menyayangkan pihak UGM yang dinilai belum mempersiapkan dokumen skripsi Jokowi dengan baik saat ia dan rekan-rekannya datang.
“Memang kita tidak bisa melihat ijazah asli. Ijazah asli tidak disimpan di kampus. Ijazah asli, insyaallah, akan dilihat oleh teman-teman yang bergerak ke Solo. Saya memang tidak ikut ke Solo besok karena harus ke Jakarta, tapi mudah-mudahan besok bisa diperlihatkan,” terangnya.
Menurutnya, sebagai institusi pendidikan, UGM harus berani bersikap independen. Ia sependapat dengan dr. Tifa yang menyatakan bahwa UGM jangan sampai menjadi tameng atau bumper yang justru melemahkan kredibilitasnya sendiri.
“Kalau memang iya, katakan iya. Jangan tadi sempat terkesan membela-bela, bilang ‘itu zaman dulu’. Itu tidak perlu. Kalau memang tidak ada tanda tangan, ya katakan saja tidak ada,” ujarnya.
Roy menyebutkan bahwa dari skripsi yang telah dilihatnya, tidak tercantum tanggal maupun lembar pengesahan. Menurutnya, ada sejumlah kejanggalan dalam skripsi tersebut.