Di gunung suci, Niskala mendapatkan cobaan yang berat. Seluruh pasukannya tewas dimangsa oleh ular raksasa yang menyerangnya.
Niskala berusaha menyelamatkan diri namun terlilit oleh ekor ular yang besar itu.
Beruntung seorang pemuda desa yang kebetulan melihat kejadian itu langsung menerjang dan menyayat perut ular hingga menyemburkan darah kesemua arah. Sang ular mati terkapar, dan Niskala selamat dari maut.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, begitulah hikmah dari bencana yang menimpa Niskala.
Sang ratu Dwipantara jatuh hati kepada pemuda yang penyelamat dirinya, dia adalah Ambarasta pemuda desa yang sakti dan pemberani.
Niskala merasa berhutang nyawa dan meminta agar Ambarasta ikut ke Dwipantara untuk mengikuti sayembara.
Meski Ambarasta sempat menolak karena dirinya bukan kaum bangsawan kerajaan, namun Niskala meyakinkan bahwa Ambarasta akan diberikan kehormatan untuk bisa bersaing menaklukan lawan-lawannya.
Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Saat Niskala berhari-hari melakukan perjalanan ke gunung suci, di kerajaan Dwipantara terjadi kekacauan akibat wabah yang menyerang.
Sebegitu cepatnya tanah Dwipantara dilanda kekeringan, tak ada lagi yang bisa berladang, hewan ternak banyak yang musnah, karena tak ada lagi sugai yang basah.
Wabah begitu cepat menyebar, banyak yang mati karena menggigil menahan nyeri, orang-orang terkapar sesak menghimpit denyut nadi. Tiba di Dwipantara Niskala terguncang menyaksikan Ibu Buana terkapar oleh serangan wabah.
Nahas, beberapa pangeran yang telah datang untuk mengikuti sayembara turut menjadi korban keganasan wabah tersebut.
Jalan terbaik menghentikan wabah adalah dengan membakar seluruh jenazah termasuk Ibu Buana dan para tamu pangeran dari kerajaan-kerajaan yang hendak mengikuti sayembara.