Dwipantara mulai mereda dari wabah yang mengancam. Atas saran para petinggi kerajaan, Niskala diminta untuk menikah dengan Ambarasta karena telah menyelamatkan nyawanya dari musibah.
Maka dilakukanlah prosesi pernikahan dalam suasana duka, tanpa pesta dan riuh tetabuhan.
Tak lama kemudian, Dwipantara mendapatkan berita gembira bahwa Ratu Niskala mengandung bayi putera mahkota.
Berita ini disambut oleh seluruh rakyat dengan riang gembira. Namun permasalahan kerajaan seperti tak pernah berakhir, kerajaan yang putera mahkotanya wafat dan dibakar di Dwipantara merasa tidak terima dan menyerang Dwipantara.
Penyerangan itu terjadi berulang-ulang seiring bayi yang dikandung Niskala terus membesar. Namun Ambarasta selalu berhasil menangkal serangan lawan dengan sempurna.
Tiba dihari kelahiran sang Putera Mahkota, Dwipantara diserang oleh gabungan kerajaan yang jumlah pasukannya sangat besar.
Peperangan hebatpun pecah di tanah Dwipantara. Ambarasta menyerukan kepada seluruh prajurit dan rakyat agar membela tanah airnya dari serangan musuh.
Takdir berkata lain, Dwipantara porak poranda saat putera mahkota terlahir. Tangisan bayi pecah diriuhnya peperangan. Niskala yang masih dalam kondisi lemah terpaksa turut membantu suaminya menghalau penyerang.
Ambarasta menggendong bayi seraya mengayunkan pedang melawan musuhnya. Niskala berjibaku menghalau serangan lawan. Akhir yang memilukan, Niskala dan Ambarasta tewas di medan pertempuran. Putera mahkota “Mahespati Sangkara” tak sempat mengenal wajah ayah dan ibunya.
Kisah Ambarasta merupakan metafora sebagai seruan untuk bela Negara kepada generasi emas Indonesia.
Niskala adalah gambaran bumi Indonesia yang menawan di mata seluruh negara. Kemasyhuran bumi pertiwi ini selalu menjadi perhatian dunia global.
Sebagai Negara yang memiliki kekayaan alam melimpah, Indonesia akan selalu mengalami cobaan dan gangguan baik dari luar maupun dalam negeri seperti; perpecahan, radikalisme, multi krisis, dekadensi moral dll.