Cerpen Era Cakra Perlawanan
Ia tetap menyasar orang yang sedang ada di jalanan, sibuk atau tidak, anak itu akan tetap bertanya dengan suara keras.
Kabar tentang seorang anak kecil, seorang pemuda, dan orang tua bisu mencari Sang Maha Guru telah beredar luas di negeri itu. Mereka bertiga telah berbulan-bulan berjalan dari negeri yang jauh. Negeri di ujung bumi yang kabarnya dipenuhi dengan monster dan kehidupan yang sulit.
Mereka berjalan bersama menyusuri negeri kebijaksanaan dari ujung ke ujung. Mencari satu orang yang kabarnya paling kuat dan paling hebat di antara seluruh umat manusia.
Orang yang kabarnya mampu membelah gunung dan menguras lautan. Sosok yang diikuti oleh seluruh masyarakat negeri yang bijaksana dan penuh kebaikan.
Negeri itu benar-benar penuh dengan kebaikan dan kebijaksanaan. Berkali-kali mereka tidak menemukan orang yang tidak tersenyum dengan tulus atau marah karena perihal sepele.
Manusia-manusia di negeri itu tidak berebut uang yang tercecer di jalan atau marah karena antrian mereka diserobot. Negeri itu sangat teratur dalam kesehariannya.
Orang bangun di waktu mereka tidak mengantuk atau bergadang di saat mereka memiliki tanggungan di pagi hari. Mereka paham bahwa anak kecil memanglah banyak bertanya dan memaklumi Si Anak Kecil yang bertanya ke sembarang orang. Orang-orang itu begitu sabar dan menjawab secukupnya.
“Maha Guru ada di gunung kecil sebelah sana, berhati-hatilah di jalan nak.” Begitu jawab mereka seragam.
Beberapa kali mereka bahkan menawarkan untuk para musafir itu berhenti dan beristirahat karena perjalanan yang sudah begitu jauh. Namun lebih dari tawaran itu tertolak karena mereka sangat terburu-buru.
“Tuan! Maaf tapi, kami tidak bisa berhenti di sini. Negeri kami butuh bantuan.” Jawab pemuda menggebu itu bahkan sebelum penduduk negeri itu sempat untuk berucap menawarkan.
Pemuda itu begitu tahu kalau penduduk negeri itu sangat baik hati. Ia yakin kalau setiap sempat, masyarakat di sana akan menawarkan pada mereka untuk beristirahat. Atau bahkan membantu mereka dengan memberikan tumpangan untuk mereka sampai lebih cepat ke arah gunung itu.
Namun pemuda itu selalu saja menolak. Ia beranggapan kalau perjalanan ini adalah perjalanan yang suci dan rasa sakit yang mereka derita akan memberikan makna yang lebih besar kepada perjalanan ini. Karenanya ia sangat yakin untuk menolak pertolongan di sepanjang jalan.