Cerpen Zaki Zarung. (Ilustrasi: hariane.com)
Agak canggung, ia memberanikan diri sowan dan matur langsung bahwa ia benar-benar serius mendekati Fifah.
“Saya tidak tanya,” potong Pak Nang. “Itu sepedanya ya? Kemana-mana naik itu? Hmm... Anak saya itu sudah biasa prihatin. Kalo dapat suami yang prihatin juga, saya kok tidak tega. Makanya saya membelikan itu untuknya. Biar kalo ke mana-mana tidak kesel,” lanjutnya sambil menunjuk sebuah mobil warna putih baru.
Lalu sama-sama terdiam kaku. Pak Nang mengambil rokok kretek dari dalam bungkus lalu menyulutnya. Asapnya mengepul ke mana-mana. Ahmad tertunduk. Dari dalam rumah, Fifah keluar membawa nampan berisi minuman.
“Fah, bapak ke warung dulu. Sekecakke, Mas,” Pak Nang menuju mobil Pajero hitam dan berlalu. Ahmad dan Fifah bertatapan. Seperti ada beban berat dalam tatapan kedua pasang kekasih ini.
***
Ahmad sebenarnya tidak semiskin yang terlihat. Dia punya satu sepeda motor di rumah. Tidak pernah dipakai. Ia lebih suka naik sepeda. Katanya biar sehat. Dan memang dia lebih suka hidup sederhana. Namun orang-orang melihatnya lain. Ia terlihat miskin. Di balik penampilannya yang sederhana, dia menguasai banyak kemampuan. Karena memang dia suka belajar dan mencoba. Namun hal yang paling ia sukai dan menyita hatinya adalah dunia pendidikan. Cita-citanya sejak kecil adalah menjadi guru. Di antara para guru yang terpaksa jadi guru dan menjadi guru terpaksa, ia adalah guru kebetulan, memang benar-benar guru. Sayangnya, setelah lulus dari kuliah PGSD, sampai saat ini, tidak ada pembukaan CPNS maupun P3K guru SD. Sekarang ia menjadi guru honorer swasta yang gajinya habis tanggal 15. Meskipun begitu, Ahmad tetap bangga dan mencintai pekerjaannya menjadi guru, bukan yang lain. Jadi meskipun dia bisa saja bekerja di tempat lain, lagi-lagi mendidik generasilah hatinya nyaman berada.