Cerpen Zaki Zarung. (Ilustrasi: hariane.com)
Pagi sampai siang mengajar, sore mengoreksi mengoreksi hasil pekerjaan murid, malam menyiapkan pembelajaran untuk besok pagi. Sering juga ia menulis paper penelitian tindakan kelas (PTK).
Begitu seterusnya, di samping tentu saja kegiatan kampung dan masjid. Waktunya habis di situ.
Tiba-tiba, selepas dari pertemuan dengan pak Nang tempo waktu, Ahmad mulai berfikir untuk membeli mobil.
Tujuannya satu, yaitu untuk meyakinkan bahwa ia bisa mencukupi kebutuhan Fifah jika menjadi istrinya kelak, walaupun dengan tetap menjadi guru. Hatinya kadung terpaut sangat dalam.
Ia tak hendak melepaskan Fifah. Ia ingin berjuang mendapatkan pujaan hatinya.
Seminggu setelahnya, ia terlihat di pinggir jalan utama kota kecamatan. Ia menjajakan pecel lele khas lamongan. Salah satu keahliannya memasak dan meracik bumbu ia gunakan.
Ia belajar magang di warung Cak Samsul yang lebih dahulu berjualan pecel lele. Dan laris. Sayangnya ia harus melakukannya sendirian.
Belum genap dua bulan ia sudah mulai jengah dengan rutinitasnya. Harusnya sore hari ia mengajar TPA, ia jualan. Harusnya malam hari ia mengoreksi pekerjaan murid, ia jualan. Harusnya malam hari ia menyiapkan inovasi pembelajaran untuk besok pagi, kini ia harus sibuk jualan.
Waktunya habis untuk jualan. Kualitas mengajar menurun. Ia ngantuk dan lelah. Namun ia butuh uang untuk membeli mobil. Dan setelah 9 bulan, genap uang tabungannya terkupul 60jt, ia berhenti berjualan.
***
Ahmad tinggal bersama ibunya yang sudah terlihat sepuh. Meski sepuh, namun wajahnya justru bertambah cerah. Beliau banyak di kamarnya mengaji Quran maupun sholat. Mata dan pendengarannya sudah mulai menurun.