Setelah doa bersama, warga melakukan genduri atau makan bersama dengan menyantap ingkung dan air kelapa yang telah diberkati oleh sesepuh.
"Ada ingkung yang dimasak dan dibawa ke lokasi upacara adat. Termasuk juga kelapa muda yang diminum setelah didoakan oleh sesepuh," jelas Supriyadi.
Harapan Warga Gunungkidul untuk Hujan
Melalui upacara adat ini, warga berharap hujan segera turun agar krisis air bersih yang mereka hadapi bisa teratasi.
"Harapan kami, hujan bisa segera turun sehingga masyarakat tidak kesulitan mendapatkan air bersih dan bisa memulai aktivitas pertanian," tandas Supriyadi.
Kondisi di wilayah ini semakin memprihatinkan, karena sejak beberapa bulan lalu sumber air di daerah tersebut mulai mengering, terutama selama bulan Agustus hingga Oktober.
Akibatnya, warga kesulitan mendapatkan air bersih dan harus membeli air dari tangki swasta dengan biaya yang tidak murah.
"Dampak kemarau ini sangat besar. Mulai dari kesulitan air bersih, hingga gangguan monyet ekor panjang yang merusak lahan dan pekarangan warga. Kegiatan pertanian pun benar-benar terhenti," ungkap Supriyadi.
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, warga harus membeli air dengan harga sekitar Rp 150.000 hingga Rp 200.000 per tangki, yang hanya cukup untuk dua minggu.
Selain itu, beberapa pihak juga memberikan bantuan air bersih untuk meringankan beban warga.
Upacara Adat sebagai Bentuk Kearifan Lokal
Upacara adat "Njaluk Udan" merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang masih terjaga di Gunungkidul.