HARIANE - Sebagai upaya mengatasi masalah stunting di Kabupaten Gunungkidul, Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Gunungkidul meluncurkan program bertajuk Gerakan Peduli Gunungkidul: Qurban for Stunting.
Kepala Kantor Kemenag Gunungkidul, Syaban Nuroni mengatakan bahwa program ini berfokus pada pemanfaatan daging kurban, yang banyak beredar di masyarakat Gunungkidul setiap Idul Adha.
Program inovatif bertajuk "Gerakan Peduli Gunungkidul: Qurban for Stunting" resmi diluncurkan hari ini. Gerakan ini berfokus pada pemanfaatan daging qurban untuk mengatasi masalah stunting di daerah tersebut.
"Banyak daging yang hanya disimpan dalam freezer atau kulkas tanpa dimanfaatkan dengan optimal," kata Syaban saat ditemui usai meluncurkan program tersebut di PLHU Kemenag Gunungkidul, pada Jumat, 12 Juli 2024.
Sahban juga menjelaskan, bahwa adanya program ini berawal dari keprihatinan terhadap tingginya angka stunting di Gunungkidul. Dengan adanya program ini, nantinya daging qurban akan diolah menjadi kornet kaleng.
"Ini adalah program prioritas Kemenag untuk mengoptimalkan dana umat. Kami merasa terpanggil untuk berkontribusi," tambah Syaban Nuroni.
Produk yang dihasilkan dari program ini nantinya akan didistribusikan kepada masyarakat Gunungkidul yang berpotensi mengalami stunting. Meskipun gerakan program ini masih terbilang kecil, Syaban tetap optimis bahwa kedepan akan berdampak secara luas.
"Kami berharap angka stunting akan terus menurun setiap tahun. Harapannya, pada Idul Adha tahun depan, kami lebih siap dengan daging dan dana yang lebih berkembang," ujarnya.
Dalam pelaksanaan program ini, Kemenag memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk turut berpartisipasi, diantaranya masyarakat dapat menyerahkan berupa dana, hewan kurban, atau dengan mengumpulkan daging untuk dijadikan kornet kaleng.
"Pada tahap awal, akan dibagikan sebanyak 300 kaleng, dengan target 2000 kaleng pada tahun 2025," imbuhnya.
Sementara itu, Bupati Gunungkidul, Sunaryanta menyebutkan bahwa saat ini angka stunting di Kabupaten Gunungkidul mencapai 22%. Angka ini diperoleh berdasarkan data nasional, dengan target penurunan hingga 14%.
"Ke depan, kita bisa mempertimbangkan penggunaan kemasan kaca untuk alasan lingkungan, karena kaleng sulit didaur ulang dan bisa menumpuk," kata Sunaryanta.