Berita , Nasional , D.I Yogyakarta
SIGAB Indonesia Temukan Pemilu 2024 Masih Abai Akan Hak Difabel
HARIANE - Sassana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB Indonesia), Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (FORMASI Disabilitas), dan Pusat Rehabilitasi YAKKUM menemukan sejumlah fakta di mana pemungutan suara Pemilu 2024 masih belum sepenuhnya inklusif bagi penyandang disabilitas.
Menurut Ranie Ayu Hapsari (Pusat Rehabilitasi Yakkum), hak politik difabel telah dijamin Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas yang seharusnya mutlak diberikan, termasuk dalam penyelenggaraan Pemilu.
Terlebih jika melihat kembali Undang-undang Pemilu, aksesibilitas dan akomodasi yang layak wajib diberikan untuk kemudahan difabel dalam menggunakan hak pilihnya.
Namun menurutnya, pada Pemilu ini masih ada keterputusan antara kebijakan yang ada dengan implementasi di lapangan.
“Faktanya hasil pemantauan ini menunjukkan bahwa penyelenggara Pemilu abai terhadap pemenuhan hak tersebut. Pesta demokrasi yang seharusnya dinikmati oleh semua orang, nyatanya tidak bagi difabel,” kata Ranie, Kamis, 15 Februari 2024.
Dari pemantauan pemungutan suara yang dilaksanakan di lebih 223 Tempat Pemungutan Suara (TPS) di 20 Provinsi, masih ditemukan beberapa catatan yang menyebabkan hambatan signifikan bagi pemilih difabel dalam memanfaatkan hak pilih mereka.
Pertama, rata-rata tempat/bangunan yang dipilih sebagai lokasi TPS adalah lokasi yang tidak mudah diakses difabel. Di sebagian besar lokasi pemantauan, TPS berada di gedung/bangunan yang cukup tinggi dengan akses tangga. Tak sedikit pemilih difabel yang harus mengandalkan bantuan petugas ketika hendak melakukan pencoblosan, bahkan ketika hendak masuk ke lokasi TPS.
Ditemukan pula sejumlah kejadian di mana pemilih difabel harus memilih di luar bilik suara dan di luar TPS karena kesulitan mengakses hingga mencoblos disaksikan oleh banyak orang.
Menurut Ranie hal ini melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sebagaimana aturan penyelenggaraan Pemilu. Kejadian ini ditemukan salah satunya di TPS 020 Baturan, Sabdodadi, Kabupaten Bantul.
Catatan kedua adalah ketiadaan alat bantu pencoblosan berupa template braille untuk kertas suara DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, dikeluhkan oleh pemilih difabel sensorik penglihatan/tunanetra sebagai pengabaian penyelenggara Pemilu atas jaminan bagi mereka untuk dapat memilih secara mandiri.
“Di semua TPS yang terpantau, alat bantu bagi pemilih difabel sensorik netra yang tersedia hanya ada template braile untuk kertas suara Presiden dan Wakil Presiden, serta kertas suara DPD RI. Desain kertas suara juga tidak dipersiapkan agar pemilih dapat membedakan posisi dan letak kertas suara terhadap template yang disediakan. Sehingga meski template telah tersedia, tetap saja pemilih dengan hambatan penglihatan masih tetap membutuhkan seseorang, baik petugas KPPS atau pun keluarga untuk sekedar memasangkan kertas suara pada template yang telah tersedia. Hal ini tentu memberi peluang besar atas pelanggaran kerahasiaan memilih,” paparnya.
Di sejumlah tempat, katanya, ditemukan pula petugas KPPS hanya memperbolehkan pemilih difabel sensorik netra hanya bisa mencoblos surat suara Presiden dan DPD. Sementara tiga surat suara yang lain tidak diberikan karena petugas KPPS berdalih kalau peraturan KPU tidak mengizinkannya.