Berita , D.I Yogyakarta
Ada 88 Kasus Kekerasan di Gunungkidul Sepanjang Tahun 2024, Dinsos PPPA Gunungkidul Upayakan Pencegahan dan Penanganan
HARIANE - Sepanjang tahun 2024, Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (Dinsos-PPPA) Kabupaten Gunungkidul telah mencatat sebanyak 88 aduan tindakan kekerasan di Gunungkidul. Dari jumlah tersebut, yang paling banyak ialah kasus kekerasan seksual (KS).
Kepala Dinsos-PPPA Gunungkidul, Asti Wijayanti, mengatakan jumlah kasus kekerasan seksual mencapai 39 aduan, dengan rincian korban terdiri dari empat perempuan (P), 26 anak perempuan (AP), dan sembilan anak laki-laki (AL).
Adapun jenis kekerasan lain, yaitu kekerasan fisik, dengan rincian korban perempuan sebanyak delapan, satu anak perempuan, dan dua anak laki-laki. Selain itu, terdapat juga kekerasan psikis dengan korban delapan perempuan, satu laki-laki, 17 anak perempuan, dan empat anak laki-laki.
Terdapat pula kasus penelantaran dengan korban sebanyak delapan perempuan.
Asti menjelaskan bahwa untuk melakukan penanganan pasca kejadian, perlu adanya keterlibatan psikolog. Namun, saat ini jumlah psikolog di Gunungkidul masih sangat terbatas. Di UPT Perlindungan Perempuan dan Anak hanya ada satu psikolog, sementara satu psikolog lain berada di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wonosari.
Dijelaskannya, selama ini Puskesmas juga sudah melakukan pelatihan bagi tenaga medisnya untuk menjalankan standar operasional prosedur (SOP) Psikologi Klinis sederhana. Dengan demikian, petugas Puskesmas dapat melakukan penanganan awal sesegera mungkin guna menghindarkan hal-hal buruk.
“Idealnya, setiap Puskesmas perlu ada psikolog,” kata Asti saat dihubungi melalui telepon, Kamis, (26/9/2024).
Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Gunungkidul, Mohamad Arif Aldian, mengatakan bahwa pemenuhan kebutuhan tenaga psikolog saat ini memang terhambat oleh kuota rekrutmen yang terbatas. Meskipun ada kuota dalam formasi CPNS, pendaftar masih sangat sedikit.
“Ini jadi catatan ke depan bagi kami,” kata Arif.
Arif mengaku bahwa jumlah pendaftar tenaga spesialis lain juga masih sepi. Apabila melihat data dari Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah (BKPPD), hanya ada dua pendaftar dokter spesialis.
“Pemenuhan ini tentu memerlukan kerja sama dari masing-masing Puskesmas dengan NGO (Non-Governmental Organization atau Lembaga Swadaya Masyarakat) seperti Rifka Annisa,” papar Arif.****