HARIANE - Merajalelanya pinjaman online (pinjol) di masyarakat menimbulkan kekhawatiran, pasalnya pada awal bulan Agustus 2024, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan pemblokiran 8.271 pinjol ilegal.
Angka itu menunjukkan bahwa pinjol kian merebak, praktiknya yang kerap kali tidak transparan serta cenderung eksploitatif dengan jeratan bunga tinggi, penagihan yang tidak etis, dan pelanggaran privasi.
Menanggapi itu, Dosen sekaligus Kepala Program Studi Manajemen FEB UGM, I Wayan Nuka Lantara mengatakan fenomena merebaknya pinjol adalah cerminan kebutuhan mendesak masyarakat akan akses keuangan yang cepat dan mudah.
Pinjol juga menjadi alternatif bagi mereka yang tidak terjangkau oleh layanan perbankan konvensional dengan prosedur yang lebih cepat dan sederhana serta jumlah pinjaman yang lebih fleksibel. Namun, di sisi lain, bunganya cenderung lebih tinggi dibanding meminjam dari lembaga pinjaman konvensional.
Sementara dari sisi legalitas, menurut Wayan, pinjol dibagi menjadi dua kategori, yaitu pinjol legal dan ilegal. Pinjol legal terdaftar dan diawasi oleh OJK. Mereka beroperasi sesuai dengan regulasi yang ditetapkan, termasuk transparansi bunga, perlindungan data pribadi, dan etika penagihan. Pinjol legal biasanya memberikan kontribusi positif dengan memberikan akses keuangan yang lebih luas bagi masyarakat.
"Akan tetapi, pinjol ilegal justru sebaliknya beroperasi di luar kerangka hukum dan tidak diawasi oleh OJK sehingga rawan menyalahgunakan kekuasaan dan merugikan konsumen, seperti bunga yang sangat tinggi dan metode penagihan yang intimidatif," ujar Wayan di Kampus UGM pada Senin, 26 Agustus 2024.
Menurut Wayan konsekuensi pinjol perlu menjadi perhatian serius. Pertama, terdapat kewajiban membayar bunga dan biaya tambahan yang dapat menjadi beban jika tidak dikelola dengan baik. Pinjol legal biasanya menawarkan bunga yang lebih jelas dan terukur, tetapi jika tidak dilunasi tepat waktu, biaya bunga dan denda keterlambatan dapat bertambah signifikan.
Kedua, bagi pengguna pinjol ilegal, resikonya lebih besar karena bunganya terbilang sangat tinggi dan tidak transparan. Metode penagihannya pun kasar atau intimidatif.
Ketiga, pelanggaran privasi bisa saja terjadi, terutama pada pinjol ilegal. Terakhir, jika tidak mampu melunasi pinjaman, hutang yang menumpuk berpotensi mempengaruhi reputasi kredit seseorang,
“Bahkan dalam beberapa kasus di Indonesia bisa terjadi tindakan depresi hingga mengakhiri hidup,” ujar Wayan.
Wayan memberikan himbauan agar terhindar dari pinjol ilegal yakni untuk memeriksa kelegalan penyedia pinjol terlebih dahulu dalam daftar penyelenggara pinjol yang diterbitkan OJK.
Kedua, perhatikan transparansi informasi mengenai suku bunga, biaya, dan syarat-syarat pinjaman. Pastikan kontraknya transparan. Ketiga, amati metode penagihan. Pinjol legal harus mematuhi kode etik penagihan yang ditetapkan oleh asosiasi terkait sehingga cara penagihannya tidak kasar dan intimidatif. Jika pinjol yang akan kita gunakan tidak sesuai dengan ciri-ciri tersebut, maka patut diduga itu pinjol illegal.