Karya: Mustofa W HasyimSetelah pandemi agak mereda, muncul seorang lelaki setengah baya yang kerjaannya mengendong cucu keliling kampung. Ini cucu pertama dia. Lahir waktu awal pandemi. Tidak sempat dirayakan. Lelaki itu, kakek sang cucu dengan bangga memamerkan cucunya yang umurnya mendekati dua tahun, perempuan, manis, lucu, agak gemuk. Keliling kampung tiap pagi sehabis subuh dan tiap sore menjelang Maghrib.Karena selama ini sang cucu berada di rumah saja dan tidak pernah bertemu orang lain kecuali ayah, ibu, nenek dan kakeknya maka waktu diajak keliling kampung ada ibu-ibu menyapa dengan ramah anak in malah kaget, menjerit-jerit lalu menangis. Keras. Suaranya menggetarkan kampung, menyebabkan ibu-ibu yang baru pulang dari arisan sore merasa bersalah. Meminta maaf kepada lelaki dan meminta maaf kepada cucu perempuannya.“Maaf, Ya, Nak, Ibu tidak bermaksud jahat.”“Maaf ya Nak, maksud ibu baik, menyapamu, anak manis.”“Jangan menangis lagi ya Nak."Mendengar ada Ibu melarang anak menangis, anak itu justru makin menangis. Makin hebat, menangis dengan serius. Suaranya melengking tinggi lebih dari dua oktaf sehingga orang-orang yang mendengar tangis itu seperti mendengar suara dari alam lain.Suara tangis seperti beribu-ribu jarum menusuk telinga. Menyakitkan. Tidak bisa dibalas dengan apa pun. Para ibu tadi memilih bergegas sambil menutup telinga, menuju rumah masing-masing.