Pembeli pertamanya adalah seorang kyai ternama di wilayah Sragen. Adalah Kyai Darmo Sukarto yang membeli dengan harga cukup tinggi saat itu.
"Rp 20 ribu, sangat senang sekali. Karena menjadi pemeran ketoprak saja sekali tampil hanya mendapat bayaran satu hingga dua rupiah,” ungkapnya haru.
Setelah dibeli pertamakali oleh Kyai Darmo Sukarto yang tidak lain adalah mertuanya itu, berangsur-angsur pembeli pun bertambah. Bahkan karya Mbah Slamet laku hingga luar pulau Jawa.
“Yang beli ada yang dari Kalimantan dan Sumatera juga, pejabat-pejabat yang beli,” ujarnya bangga.
Layaknya usaha pada umumnya, tidak setiap waktu karya buatannya itu laku keras. Saat sedang sepi pesanan, Mbah Slamet tetap produksi Garuda Pancasila dan pentas ketoprak bersama rombongannya.
“Ra payu tetep gawe, pasti nek wes titi wancine payu mesti payu (tidak laku ya tetap buat, pasti kalau waktunya laku ya laku),” katanya.
Mbah Slamet tak ragu membagikan karyanya untuk balai kalurahan atau balai padukuhan yang tidak jauh rumahnya sekarang.
Menurutnya membuat lambang negara Indonesia Garuda Pancasila tidak hanya sekedar untuk dijual. Tetapi untuk menyebarkan nilai-nilai perjuangan dan nasionalisme.
“Kalau dijual sekarang Rp 200-400 ribu tergantung ukuran. Tapi saya bangga ketika karya saya terpasang di balai kalurahan dan padukuhan saya ini,” ungkapnya.
Memperistri Lasmi
Raut wajahnya berubah saat kisah pertemuannya dengan sang istri muncul tiba-tiba. Senyum kecil mengintip dari wajah berkumis putih itu.