Pertemuan itu berawal ketika Mbah Slamet pentas ketoprak dan mampu membawakan perannya dengan apik. Tak ayal, pembeli pertamanya, Kyai Darmo Sukarto yang kebetulan menonton pun takjub.
“Kyai Darmo Sukarto selang satu bulan setelah membeli karya saya, saat kembali bertemu saya dalam pagelaran ketoprak tiba tiba menawarkan untuk menjadi suami anaknya,” cerita Mbah Slamet.
Bahwa Mbah Slamet merasa sebagai masyarakat biasa dan diminta menikahi Lasmi, anak kyai sohor di Sragen membuatnya tidak percaya.
Hingga akhirnya, Mbah Slamet muda dipertemukan dengan gadis bernama Lasmi anak Kyai Darmo Sukarto.
“Tetapi ternyata Lasmi itu juga sir (senang) dengan saya,” katanya.
Setelah menikah dan membangun rumah tangganya, Mbah Slamet dan Lasmi dikaruniai tiga anak dan tiga cucu.
Rejeki, jodoh, dan mati di tangan Tuhan, Lasmi meninggal dunia akibat menderita kanker payudara selama tiga tahun terakhir.
“Sekarang sudah tidak sakit lagi, sudah tenang di sisi Tuhan, amin,” ungkap mbah Slamet dengan mata berkaca-kaca.
Rumah Baru Mbah Slamet
Di rumah sederhana, Mbah Slamet berencana menghabiskan masa tuanya sembari sesekali masih meladeni satu-dua pesanan Garuda Pancasila.
Cerita hidup dan ketekunannya membuat Lambang Negara Indonesia itu menarik perhatian sejumlah relawan hingga membangunkan rumah baru yang lebih nyaman dan layak untuk Mbah Slamet.
Shiddiqiyyah melalui organisasi Dhilaal Berkat Rochmat Alloh (DHIBRA) memperbarui rumah yang awalnya berdinding kayu dan anyaman itu. Pembangunan gratis tersebut merupakan program Rumah Syukur Kemerdekaan Indonesia Layak Huni Shiddiqiyyah.