Bahasa teks dan visual memang bedak. Dan saya tegaskan, penulis skenario Alim Sudio berhasil merangkumnya menjadi sebaik novel-nya.
Dan Kebetulan saya berkesempatan nonton Gala Premier tanggal 21 Mei kemarin di Jogja City XXI.
Terimakasih Undangannya, Ning Khilma. Saya menikmati filmnya, apik. Tawa kecil saya meledak di beberapa momen lucu.
Misal ketika Alin masuk ke ruang tamu hingga membuat canggung para tamu Gus Biru. Atau pas adegan-adegan dengan Alin dan Aruna di Salon dan warung makan bersama kang Dharma. Tapi, maaf saya tidak menangis (tapi boong).
Tema besar tentang kekuatan perempuan, kesetaraan, perjuangan, dan pengorbanan dalam mengamalkan ajaran mikul duwur mendem jero, dibalut nuansa religius khas pesantren Nahdliyyin, menurut saya berhasil dihadirkan tanpa harus menyikut laki-laki.
Tidak ada tokoh antagonis dalam cerita ini. Semua adalah protagonis dari bayangan diri para pemirsanya. Pembaca maupun penonton pada akhirnya memilih kubunya masing-masing, kubu Alina atau Rengganis.
Atau kubu Gus Birru bahkan Kang Dharma. Semua adalah potret asli dari dunia nyata. Di dunia ini selalu ada keputusan yang harus terjadi.
Bisa jadi menguntungkan satu pihak dan bisa jadi merugikan pihak lain dalam waktu bersamaan. Bukan karena keputusannya salah, namun sistem yang membuatnya demikian.
Lalu dari mana Ning Khilma mampu mendapat cerita yang semenarik ini? Tentu saja dari pengalaman.
Eit, tunggu dulu. Pengalaman di sini diartikan sebagai peristiwa mengetahui, merasakan, dan menyimpulkan suatu kejadian. Dan tentu saja literatur dan proses panjang kepenulisannya.
Dia adalah putra kiai pengasuh pesantren, dia juga nyantri di beberapa pesantren dan kebetulan menikah dengan Gus dari pesantren pula.
Dia membaca wayang, menderas Quran dan kitab-kitab, sangat lekat dengan dunia jurnalistik dan sastra. Ia pernah mencintai dan pernah pula merasakan tertolak (kemungkinan besar, hehe...).