Pernikahan ini adalah kepura-puraan. Drama yang harus dilakukan semata hanya untuk menyenangkan hati orang tuanya. Karena Gus Birru teramat mencintai Ummiknya. Ia ingin berbakti kepada Ummiknya.
Dan satu-satunya cara adalah mengiyakan pernikahan itu terjadi. Namun sayang, Gus Birru masih mencintai kekasihnya, Ratna Rengganis, seorang jurnalis perempuan yang cerdas dan modern.
Perempuan yang bisa membuatnya nyaman duduk berjam-jam, hanya untuk mengobrolkan selembar tulisan, atau sekalimat ide.
Istilahnya satu server, lah. Klik.
Cerita yang kebak pengetahuan filosofi jawa, sejarah, wayang, dan tradisi pesantren. Ditambah juga pengetahuan tentang dunia pergerakan aktivis kampus, isme, sastra, jurnalistik, dan kepenulisan.
Walaupun banyak wawasan yang disampaikan dalam novel tersebut, namun dirangkai dengan alur yang apik dan epik oleh Khilma.
Apalagi ada sentuhan tangan dingin editor Akhiriyati Sundari. Nambah nyamleng untuk dibaca. Wal hasil, pembaca teraduk emosinya dan harus menyiapkan segepok tisu untuk menyeka air mata, atau bahu nganggur untuk bersandar, ehm...
Dan akhirnya bulan ini, film yang diadaptasi dari novel tersebut rilis. Dengan cerita dan latar yang 90% sama dengan novelnya, film Hati Suhita dari Produser Chand Parwez dan disutradarai Archie Hekagery, berhasil membuat penonton mengulang sedih dan cucuran air mata.
Plus menambah bonus gelak tawa di sela-sela tisu basah yang diremas tangan geregetan dan sekaligus jengkel dengan karakter tokoh-tokohnya yang kuat.
Larut dan hanyut. Begitulah para penonton sekalian.
Film dari novel selalu menyisakan kesimpulan, “kok beda ya, dengan warung yang di novel. Kan harusnya lesehan! Kok minum jamunya ragu-ragu ya?”
Dan kok kok yang lain... begitulah adaptasi, selalu ada penyesuaian yang bukan melemahkan, tapi justru tujuannya menguatkan.