Berita , D.I Yogyakarta
‘Gelagat Liar’ Jadi Sorotan dalam Edisi Perdana Not-Yet Performance Festival 2025

Autolysis, karya Enji Sekar, menjadikan proses biokimia sebagai metafora koreografi, mengundang penonton merasakan tari dalam ruang sensorium gelap.
The Other Half: After-Forced, karya Puri Senja, menyusun tubuh sebagai arena friksi antara warisan militer dan sejarah politik.
Lampiran Cyclofemmes, karya Ishvara Devi, menafsir ulang figur Mak Lampir dan pengalaman transpuan sebagai perlawanan terhadap norma, ketakutan kolektif, dan kekuasaan patriarkal. Karya ini menggunakan estetika queer-camp berbasis tubuh dan arsip populer, Mak Lampir.
Terakhir, 24 Jam Lembâna di Jogja menjadikan Madura sebagai metode gerilya, menghadirkan ragam penampil dan mengajak penonton untuk “lébur” dalam ruang-waktu berdurasi panjang, 24 jam penuh.
“Dalam festival ini, penonton tidak diposisikan secara pasif, tetapi diundang untuk terlibat aktif: melihat secara lekat, mencari, menavigasi, dan membincangkan bentuk-bentuk ‘keliaran’ yang tumbuh dari persimpangan dan percabangan pengalaman serta pengetahuan,” kata Taufik Darwis.
Bersamaan dengan program pertunjukan, akan hadir 10 sesi simposium yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu simposium pembuka untuk membincangkan kuratorial dan pengantar festival, simposium karya untuk membahas masing-masing karya yang ditampilkan, serta simposium penutup untuk memulung berbagai catatan dan percakapan tentang karya serta “gelagat liar” yang terjadi selama festival berlangsung.
Simposium ini merupakan upaya untuk mendorong ekosistem pembentukan wacana kritis pertunjukan di Indonesia secara berkelanjutan—menggunakan kritik sebagai moda pengayaan karya, menghadirkan forum penonton yang partisipatif dan kolektif, serta berpijak pada dua cara kerja: berpikir bersama pertunjukan dan pembacaan reparatif.****