Sebelum bangsa ini mengenal istilah “pendidikan nasional”, sistem pendidikan telah lebih dahulu hidup dan berkembang melalui institusi tradisional Islam seperti pesantren. Pesantren bukan hanya tempat menimba ilmu agama, tetapi juga membentuk watak dan karakter sosial masyarakat Muslim. Namun, pesantren bersifat terbatas dan tidak menjangkau kebutuhan masyarakat luas yang mulai terdesak oleh modernitas dan kolonialisme.
Situasi berubah dengan diberlakukannya politik etis oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-20. Kebijakan ini muncul sebagai bentuk “balas budi” terhadap bangsa Indonesia setelah eksploitasi panjang lewat tanam paksa dan kerja rodi. Politik etis melahirkan tiga agenda utama: irigasi, emigrasi, dan edukasi. Dari ketiganya, edukasi menjadi faktor paling menentukan munculnya kesadaran nasional. Sekolah-sekolah mulai dibuka untuk bumiputra, meskipun tetap bersifat diskriminatif dan cenderung mendidik elite lokal agar menjadi perpanjangan tangan kolonial. Namun, inisiatif ini secara tak langsung menumbuhkan semangat baru untuk membangun pendidikan sendiri yang merdeka, membebaskan, dan sesuai dengan nilai bangsa.
Dalam konteks inilah, dua tokoh besar muncul sebagai arsitek pendidikan kebangsaan: KH Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah, dan Ki Hajar Dewantara melalui Taman Siswa. Keduanya bukan hanya mendirikan sekolah, tetapi juga membangun sistem pemikiran dan aksi yang menjadikan pendidikan sebagai bagian integral dari perjuangan nasional.
Muhammadiyah
Ahmad Dahlan dan Pengabdiannya dalam Medan Sosial Awal
KH Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, dari keluarga ulama terpandang. Ia memperoleh pendidikan agama secara tradisional, kemudian melanjutkan studi ke Makkah, di mana ia bersentuhan dengan gagasan pembaruan Islam dari tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Rashid Rida¹. Perjumpaan ini menumbuhkan kesadaran bahwa umat Islam harus kembali pada Al-Qur'an dan Sunnah, serta menyesuaikan ajaran agama dengan tantangan zaman.
Dahlan sempat aktif dalam Budi Utomo, organisasi kebangsaan awal yang berbasis identitas jawa. Namun, ia segera menyadari keterbatasan Budi Utomo yang cenderung elitis dan tidak menyentuh akar masalah umat Islam, khususnya dalam bidang pendidikan. Maka pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah, sebuah gerakan Islam modern yang menjadikan pendidikan sebagai alat utama perubahan sosial².
Karakteristik Pendidikan Muhammadiyah: Sebuah Sintesis Progresif
Pendidikan Muhammadiyah menawarkan sintesis progresif antara ajaran Islam dan metode pendidikan modern Barat. Jika pendidikan kolonial dan misionaris Kristen mengusung nilai-nilai sekular dan dogma agama lain, maka Muhammadiyah hadir sebagai alternatif Islam yang rasional, terbuka, dan berbasis etika serta ilmu pengetahuan.
Sekolah-sekolah Muhammadiyah menggunakan kurikulum yang menggabungkan pelajaran agama dengan ilmu umum. Guru-guru dilatih secara sistematis, dan manajemen sekolah disusun dengan prinsip efisiensi serta tanggung jawab sosial. Pendidikan Muhammadiyah juga menekankan kedisiplinan, kebersihan, dan keterbukaan terhadap sains. Dalam hal ini, Ahmad Dahlan mereformasi cara berpikir umat—bahwa Islam dan kemajuan tidaklah bertentangan³.
Kiprah dalam Pendidikan Nasional: Islam Sebagai Kekuatan Pembebasan
Kontribusi Muhammadiyah terhadap pendidikan nasional tidak hanya dapat diukur dari jumlah sekolah yang didirikan dan penyebarannya di seluruh wilayah Indonesia, namun jauh lebih penting adalah warisan model pendidikan Islam yang modern, non-sektarian, dan transformatif. Dalam konteks kolonial, Muhammadiyah telah menjadi pelopor pendidikan berbasis rakyat yang tidak bergantung pada bantuan pemerintah kolonial.