Taman Siswa tidak mendirikan sekolah sebanyak Muhammadiyah, namun pengaruhnya terhadap filosofi pendidikan naaional sangat kuat. Konsep pendidikan Ki Hajar seperti “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” diadopsi menjadi asas pendidikan nasional. Meski hal ini tudak bisa dilepaskan dari faktor politis. Ia menjadi Menteri Pendidikan pertama RI, dan pemikirannya tentang pendidikan berbasis kebudayaan juga menjadi rujukan UU Sistem Pendidikan Nasional.
Ki Hajar membuktikan bahwa pendidikan bukan hanya soal kurikulum atau gedung, tetapi soal visiun kebudayaan dan pembebasan manusia secara utuh⁷.
Kesimpulan
Muhammadiyah dan Taman Siswa adalah dua pilar penting dalam sejarah pendidikan Indonesia. Keduanya menawarkan model pendidikan yang bukan hanya berbeda dari kolonialisme, tetapi juga mengakar pada kebutuhan dan nilai bangsa sendiri. Lalu siapa layak disebut pelopor pendidikan nasional? Keduanya—dengan pendekatan masing-masing berperan krusial:
KH Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah adalah pelopor secara struktural dan sosial, aspek kelembagaan dan modernisasi pendidikan, memberi kontribusi yang sangat besar dalam memperluas akses pendidikan dan membentuk manusia religius, rasional dan nasionalis.
Ki Hajar Dewantara adalah pelopor secara ideologis dan filosofis. Visinya pendidikan adalah alat perjuangan kebudayaan, bukan hanya pencapaian akademik. Ki Hajar meletakkan dasar-dasar pembebasan manusia Indonesia secara lahir dan batin, dan menjadikan pendidikan sebagai kekuatan revolusioner yang lembut namun radikal. Dan faktanya secara politis Ki Hajar Dewantara yang ditetapkan sebagai Tokoh Pelopor Pendidikan Nasional. Ia yang dianggap menyusun asas, filsafat, dan sistem pendidikan nasional yang diakui dan diadopsi oleh negara.
Penulis:
Nazarudin (Pengamat Sosial)
Artikel ini adalah karya asli penulis, isi dan tulisan sepenuhnya tanggungjawab penulis.