Cerpen Mustofa W Hasyim
Lelaki yang menggendong cucu itu menggelengkan kepala. Ia bersyukur, cucunya melemah tangisnya karena capek menangis.
“Nah, bawa pulang cucumu, sepertinya capek menangis, beri dia minum susu, nanti kan mengantuk dan tidur pulas,” sahut Pak RW yang tadi datang ke tempat itu karena terganggu suara tangis.
“Ya, Pak, Ngapunten mengganggu seluruh kampung.”
Orang-orang lega, bubar, bersiap-siap shalat maghrib di masjid.
Ternyata ini hanya adegan sementara.
Paginya, sehabis Subuh ketika lelaki itu kembali memamerkan cucu keliling kampung, disapa lembut oleh seorang nenek yang baru pulang dari membeli sayuran, anak itu kembali menjerit-jerit. Menangis kekejer, kata orang Jawa.
Nenek itu kaget. Marah,”Gimana sih cucumu ini? Disapa baik-baik kok malah menjerit-jerit!”
Mendengar itu, sang anak ketakutan, menambah volume tangisnya, juga memperpanjang dan memperkuat irama tangisnya.
Nenek itu sebal bukan main.
“Hei, bisa diam nggak kamu?” katanya sambil menuding anak itu.
“Ya, jangan gitu Mbah. Cucu saya tidak bersalah lho.”
“Tidak bersalah gimana, lha wong saya sapa baik-baik kok malah memarahi aku dengan menangis seperti ini?”