Cerpen Mustofa W Hasyim
Suara Lik Karman, muncul tiba-tiba.
“Maaf. Lik Karman, terus caramu bertanggungjawab gimana?” tanya Pak RW.
“Saya akan menghentikan tangis anak ini,” jawab Lik Karman mantap.
“Caramu?”
“Ini.” Lik Karman memperlihatkan seruling bambu kuning yang sering dia pergunakan ketika ikut gabung dalam petunjukan keroncong di kampung.
Pak RW memandang seruling sederhana itu. Tidak percaya. Lelaki setengah baya yang hari itu piket jaga di tempat wisata malam hari, juga tidak percaya.
Anak itu masih menangis. Lebih-lebih setelah melihat Lik Karman tersenyum. Lik Karman mulai meniup seruling. Melantunkan lagu anak-anak kuno. Lagu gembira. Baru tiga lagu dia mainkan, anak itu sudah berhenti menangis. Ia tersenyum, menganggukkan kepala, menari mengikuti irama seruling.
Orang-orang kampung lega.
Dasar Lik Karman suka iseng, dia mengubah irama serulingnya menjadi romantis. Ia mainkan lagu keroncong dan langgam Jawa bertema cinta dan patah hati atau penantian yang sangat lama. Lagunya mendayu-dayu dan orang-orang teringat masa muda masing-masing bersama pacarnya.
Mendenar lagu yang dimainkan dengan seruling oleh Lik Karman berubah, tiba-tiba anak perempuan itu menangis lagi. Ia tidak suka lagu untuk orang dewasa. Terpaksa Lik Karman memainkan lagi lagu anak-anak yang iramanya gembira.
Anak itu kembali tersenyum, tertawa, dan menari. Lik Karman kemudian bergerak, melangkah menuju rumah anak kecil itu. Sambil terus menari dan tersenyum anak kecil itu melangkah mengikuti langkah Lik Karman.
Kakek anak kecil itu mengikuti dari belakang. Mendekati rumah anak kecil itu, Lik Karman sengaja memelankan tiupannya sampai suara yang keluar dari seruling hanya sayup-sayup. Anak kecil itu terhuyung, memejamkan mata, berjalan gontai dengan kantuk yang sangat.