Cerpen Mustofa W Hasyim
Kakeknya cepat menyambar anak kecil itu. Bersamaan dengan tiupan seruling yang makin pelan, dan berhenti tiba-tiba, anak kecil itu tertidur nyenyak di gendongan kakeknya. Anak kecil itu dibawa masuk rumah dan dibaringkan di tempat tidur.
Lik Karman menoleh ke arah Pak RW dan tetangga lain yang mengikuti langkahnya dan mengacungkan ibu jari. Lik Karman membalas dengan mengacungkan ibu jari. Dia pulang ke rumah, mengurus ikan tangkapan dari memancing tadi.
Orang-orang kampung, termasuk Pak RW gembira. Paling tidak malam itu mereka tidak terganggu mimpi buruk tangisan anak kecil itu. Apalagi malam itu adalah malam Minggu. Mereka merencanakan akan tidur awal agar tengah malam bisa bangun menonton siaran sepak bola piala Eropa.
Paginya, dengan penuh percaya diri lelaki setengah baya itu memamerkan cucunya ke kampung sebelah.
Di gang masuk kampung sebelah muncul remaja putra putri berkaois, memakai celana training dan sepatu olahraga. Mereka bersiap ke Alun-alun yang selalu terbuka dan setiap Ahad pagi dipergunakan senam gembira oleh warga kampung-kampung di sekitar Alun-alun.
Warga kampung lain di kota itu tidak jarang juga ikut bergabung. Bagi mereka Alun-alun adalah pusat kegembiraan warga. Alun-alun terbuka, tanpa pagar, di tengah ada sepasang pohon beringin tua, dan di seputar Alun-alun ada enampuluh tiga pohon beringin.
Kegembiraan para remaja di pagi hari Ahad terganggu dengan kedatangan lelaki setengah baya dan cucunya. Lelaki itu tersenyum dan memamerkan cucunya ke arah para remaja. Seorang remaja putri dengan rambut dipotong poni di kening, menyapa cucu lelaki itu dengan ramah.
“Ayo, Dik, ikut senam di Alun-alun,” katanya.
“Mau, ya Dik.”
“Sehat lho, Dik, senam di pagi hari di Alun-alun terbuka.”
“Hawanya segar.”
“Sehabis senam nanti bersama kami pesta soto hangat dan minum wedang jeruk Dik.”