Cerpen Mustofa W Hasyim
Para remaja itu tertawa. Ada remaja perempuan berkaos lengan panjang dan memakai topi, gemas melihat anak perempuan gemuk dan kelihatan lucu.
Dia mencubit pipi anak perempuan itu. Menjeritlah cucu itu. Diikuti tangis keras seperti biasanya. Tangisnya panjang seperti lagu menyayat hati. Para remaja kampung yang bersiap senam itu kaget. Ada yang marah.
“Pak tolong hentikan tangis anak ini, Pak.”
“Ya, Pak. Jangan membuat bising kampung kami dengan tangis anak ini.”
“Kalau anak ini tidak mau berhenti menangis lebih baik Bapak pergi dari kampung kami.”
“Ya, Pak. Sudah cukup anak-anak kecil kampung kami menangis tadi sehabis Subuh. Jangan ditambah bising.”
“Ya, kami tidak perlu mengimpor tangis anak-anak dari kampung Bapak.”
“Cukup sebal kami tadi sebelum berkumpul ini meredakan tangis adik-adik kami yang ingin ikut senam.”
“Mangga, Pak, tolong bawa pergi dari kampung ini cucu bapak yang membuat kami gelisah.”
“Kami ingin bergembira di hari Ahad pagi, kok malah Bapak mengganggu kegembiraan kami dengan
memamerkan tangis cucu Bapak.”
Anak itu tidak mau diam meski dibujuk oleh kakeknya. Para remaja kampung sebelah itu menghadang di tengah gerbang kampung. Menghalangi agar kakek dan cucu itu tidak bisa masuk kampung.