Berita , D.I Yogyakarta
Sivitas Akademika UII Kritik Jokowi, Bawa Keranda Berbalut Kain Hitam Serta Tabur Bunga
HARIANE - Sivitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta kembali menyuarakan sikap terkait kondisi bangsa. Para akademisi menyoroti soal kondisi demokrasi Indonesia.
Rektor UII Fathul Wahid mewakili civitas akademika kampus, beserta guru besar dan alumni, melakukan pembacaan pernyataan sikap yang dilaksanakan di depan Auditorium Kahar Muzakir kompleks kampus terpadu UII, Sleman, DIY.
Rektor UII, Fathul Wahid mengatakan sejak awal pemerintah Presiden Jokowi sudah ada tanda-tanda kematian demokrasi.
"Sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), tanda-tanda kematian demokrasi sudah terasa. Namun, saking halusnya tanda tersebut, tidak banyak yang merasakannya," ujarnya saat membacakan pernyataan sikap pada Kamis, 14 Maret 2024.
Tanda itu dimulai dari penciptaan segregasi sosial sejak 2014 hingga sekarang dengan label kadrun vs kampret terbukti menjadi sarana ampuh untuk melumpuhkan struktur demokrasi. Lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikebiri.
Adapun enam poin pernyataan sikap civitas akademika UII :
1. Menuntut seluruh penyelenggara negara untuk menjunjung tinggi etika berbangsa dan bernegara, menghormati hak dan kebebasan warga negara, dan mengembalikan prinsip independensi peradilan.
2. Mengingatkan pejabat negara bahwa mereka memiliki tugas konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa demi tercapainya masyarakat yang sejahtera, beradab, adil, dan makmur.
3. Mendorong partai politik untuk menjaga independensinya sehingga berdaya dalam menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan mampu menjalankan perannya untuk membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
4. Mendesak partai politik yang kalah dalam Pemilihan Presiden 2024 ini untuk menjadi oposisi penyeimbang yang berpegang teguh pada etika berbangsa dan bernegara, serta menjunjung tinggi Konstitusi dan hak-hak asasi manusia dengan menggunakan hak angket dan mencari langkah politik dan hukum lainnya sebagai penghukuman terhadap Presiden Jokowi yang terbukti mengkhianati Reformasi 1998 dan telah melakukan praktik korupsi kekuasaan secara terbuka.
5. Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk kembali sadar dengan memboikot partai politik yang menjelma menjadi penghamba kekuasaan dan uang serta terang-terangan mengkhianati tugas utamanya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.
6. Meminta lembaga-lembaga negara sesuai tugasnya seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) untuk mengusut semua kecurangan pemilu, termasuk yang dilakukan Presiden Jokowi, pada masa sebelum, ketika, dan sesudah pemungutan suara. Pemilu harus menjadi sarana menghasilkan pemerintahan yang absah (legitimate).