Berita , D.I Yogyakarta
Film Laila Sebarkan Pesan Anti Kekerasan Pernikahan Dini Lewat BLOOM Tour
HARIANE - Film pendek berjudul Laila, yang disutradarai oleh Wucha Wulandari, baru-baru ini ditayangkan perdana di Indonesia pada Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2024 dalam program Special Screening - SEA to Remember, yang menampilkan lima film lainnya dari Asia Tenggara.
Selain diputar di festival, film ini mengambil jalur distribusi yang berbeda, yaitu melalui tur program BLOOM (Becoming Limitless with Opportunities and Meaning).
BLOOM sendiri merupakan inisiatif non-profit internasional yang bertujuan memberdayakan kaum muda untuk menghindari dan mengatasi pernikahan dini.
Sebelum ditayangkan di JAFF, Laila juga diputar perdana pada Oktober lalu di SeaShort Film Festival Malaysia dan melakukan tur di beberapa lokasi di negeri Jiran.
Pemutaran film ini berhasil menjadi pemantik kegiatan interaktif di Pondok Pesantren Annadloh (Selangor) serta memicu diskusi mendalam di kalangan akademisi di Universiti Malaya (Kuala Lumpur).
Produser film Laila, Siska Raharja, mengatakan bahwa program BLOOM mengemas Laila sebagai media advokasi untuk meningkatkan kesadaran tentang pernikahan anak serta memperluas wawasan remaja mengenai peluang masa depan yang dapat mereka raih.
“Misi kami adalah untuk menginspirasi kaum muda agar membuat pilihan yang bijak dan berjuang melawan pernikahan dini. Kami ingin membuka mata mereka terhadap berbagai peluang yang tersedia, agar mereka dapat meraih kehidupan yang lebih baik,” kata Siska.
Pernikahan dini tetap menjadi kenyataan menyedihkan bagi jutaan gadis di Indonesia.
Menurut data, di Indonesia, sekitar 45% gadis menikah sebelum usia 18 tahun, dengan 2% menikah bahkan sebelum mereka berusia 15 tahun.
Praktik ini tidak hanya merugikan secara pribadi, tetapi juga memperburuk kemiskinan, membatasi akses pendidikan, dan menghancurkan potensi sosial-ekonomi komunitas.
Kalis Mardiasih, aktivis perempuan yang turut hadir dalam pemutaran film Laila di JAFF, mengungkapkan pentingnya film ini untuk membangun kesadaran di Indonesia.
"Akar permasalahan pernikahan usia anak, terutama di daerah rural, sangat kompleks. Ada banyak kerentanan berlapis pada diri anak-anak perempuan ini, seperti kemiskinan ekonomi, tradisi, serta keterbatasan akses pendidikan dan sumber daya. Mereka terjebak dalam situasi tanpa pilihan, yang akhirnya membawa mereka pada risiko berbahaya, seperti kekerasan, penculikan, atau bahkan perdagangan anak," kata Kalis.