Harianesia , Budaya , Pilihan Editor
Mengetahui Tradisi Kenduri Setelah Sholat Ied di Desa Moyoketen Tulungagung, dengan Rasa Antusias Warga Diiringi Takbir
Ichsan Muttaqin
Tradisi Kenduri setelah sholat Ied di Desa Moyoketen Tulungagung, tradisi membagikan makanan khas Tulungagung, salah satunya Ayam Lodho, yang juga disajikan dalam tradisi tersebut. (Foto: Website/tulungagungdaring.id)
Kemudian setelah melakukan sholat Ied barulah acara tersebut dimulai dengan doa-doa, lantunan doa dari anak Kyai Damsir sehingga membuat suasana khusyuk terbentuk dengan sempurna, mengungkapkan rasa syukur, mengharapkan ridho ilahi, hingga menjadi hamba yang selalu tunduk dan siap menyambut kemenangan di Hari Raya Idul Fitri 1443 H, setelah dilakukan doa-doa, dan dilanjut dengan sesi bagi-bagi makanan.
Seperti saat berkunjung di rumahnya, menemui Wulan untuk melakukan sesi tanya jawab singkat, terkait tradisi Kenduri terutama di Desa Moyoketen.
“Kita biasanya malamnya, sebelum sholat Ied waktu takbiran itu masak-masak dulu buat tumpeng, habis itu paginya kita taruh di baskom, terus kita bawa ke masjidnya itu, yang bawa itu diwajibkan bagi perempuan, dikumpulin di sana habis itu selesai sholat Ied baru dikembalikan tempatnya, terus habis itu dibagi gitu ada juga yang bisa dimakan di rumah, langsung dimakan di tempat juga ada,’ tutur Wulan dalam sesi tanya jawab tersebut.
“Udah dari turun-temurun, dari nenek moyang juga, tradisinya sudah ada terus kita teruskan sampai sekarang,” lanjutnya.
Tidak diketahui pasti kapan tradisi Kenduri ini mulai muncul, tetapi yang pasti masyarakat di Kota Tulungagung khususnya warga Desa Moyoketen masih melestarikan tradisi Kenduri karena dianggap sebagai kegiatan yang positif, dan memiliki dampak baik untuk aspek kehidupan di desa tersebut.
Pelestarian budaya lokal di Kota Tulungagung, merupakan suatu bentuk upaya untuk perduli dengan keragaman budaya yang dimiliki Indonesia, oleh karena itu ada beberapa daerah yang diketahui masih melaksanakan Kenduri yakni, Desa Moyoketen, Desa Tunggangri, Desa Leksono, namun tidak menutup kemungkinan masih ada daerah lain di Tulungagung yang melestarikan tradisi Kenduri.
Sebuah penyikapan dari pola pikir yang baik bahwa masyarakat masih berkenan melakukan tradisi yang sudah turun-temurun, karena apa jadinya jika suatu negara tanpa adanya budaya yang dilestarikan? maka hilang sudah identitas Indonesia yang dikenal dengan keberagaman budaya lokal yang melekat di setiap daerahnya.
Menjadi sesuatu yang penting, karena Kenduri merupakan tradisi yang lekat kaitannya dengan segi kehidupan manusia dan agama Islam, selain untuk meningkatkan rasa erat dalam tali persaudaraan juga sebagai gambaran dari hamba Allah yang mencari keridhoan untuk masa yang akan datang, serta meningkatkan rasa syukur atas nikmat Allah yang diberikan selama bulan Ramadan.
“Tradisi ini itu sebagai ungkapan rasa syukur kita terhadap bulan Ramadan, sebagai penutup bulan Ramadan juga, dan sebagai penyambut datangnya Hari Raya Idul Fitri dengan penuh suka cita dan bertemu dengan keluarga juga, kayak ungkapan rasa syukur kitalah kepada Tuhan,” ujar Wulan.
Dapat dipahami perempuan berusia 19 tahun tersebut mengungkapkan bahwa tradisi Kenduri sebagai kegiatan untuk perlakuan dengan penuh makna syukur atas nikmat Allah, yang diberikan selama Ramadan hingga diberi kesempatan untuk menikmati hari kemenangan.