Berita , D.I Yogyakarta
Tuntut Penggagalan RUU TNI, Aliansi Jogja Memanggil Geruduk Gedung DPRD DIY

HARIANE – Aliansi Jogja Memanggil menggeruduk Gedung DPRD DIY untuk menyuarakan penolakan terhadap Revisi UU TNI Nomor 34 Tahun 2004.
Meskipun DPR RI telah mengetok palu dan mengesahkan RUU TNI melalui sidang paripurna pada hari ini sekitar pukul 10.30 WIB di Jakarta, gelombang tuntutan untuk menggagalkan revisi tersebut menggema dari massa aksi di Jogja.
Sekitar pukul 11.30 WIB, massa Gerakan Jogja Memanggil tiba di depan Gedung DPRD DIY. Mereka menenteng berbagai poster bertuliskan "Tolak RUU TNI", "Kembalikan TNI ke Barak", dan sebagainya.
Mereka juga membentangkan spanduk besar di depan Ruang Rapat Paripurna DPRD yang bertuliskan "Rakyat Marah. Rakyat Berdaulat", "Tolak RUU TNI #Kembalikan TNI ke Barak", serta gambar yang merepresentasikan kebebasan berekspresi yang direpresi.
Setibanya di halaman Gedung DPRD DIY, mereka sempat mengibarkan bendera setengah tiang sembari menyanyikan Indonesia Raya.
Salah satu juru bicara Gerakan Jogja Memanggil, Marsinah, mengatakan bahwa disahkannya RUU TNI yang mengizinkan tentara mengisi jabatan publik di luar sektor pertahanan berpotensi membuat pengelolaan pemerintahan Indonesia mengarah pada otoritarianisme.
Terlebih, dengan watak tentara yang bersifat hierarkis dan bergerak berdasarkan sistem komando, hal ini dapat membungkam usulan-usulan lain di luar perintah yang sudah ditetapkan, termasuk jika hal tersebut merugikan kebebasan berdemokrasi di Indonesia.
Menurutnya, kebijakan rezim Prabowo-Gibran menyebabkan berbagai gejolak ekonomi, seperti pasar saham Indonesia yang anjlok hingga Bursa Efek Indonesia (BEI) terpaksa menekan tombol circuit breaker.
Kemudian, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang melemah berdampak pada nilai tukar rupiah. Per Rabu (19/3/2025), nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mencapai Rp16.531, tertinggi di Asia.
Kebijakan rezim Prabowo-Gibran ini, lanjutnya, tidak pernah berdasar pada pertimbangan ekonomi. Misalnya, anggaran belanja militer yang terus meningkat serta perencanaan sekolah kader dan menengah yang mengarah pada sistem universal coverage bagi pejabat elit.
Efisiensi anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk kebutuhan publik, seperti ketahanan pangan, fasilitas umum, dan kesejahteraan sosial, kurang mendapat atensi.
Pemutusan regulasi yang hampir tidak transparan justru mengakomodasi cita-cita politik tertentu, yang akhirnya mengukuhkan kontrol militer atas ruang sipil dan menjauhkan prinsip demokrasi dalam pengelolaan pemerintahan.