Peraturan tersebut tertuang dalam Perbup Gunungkidul yang terbit pada 16 April 2025, yakni Perbup Nomor 10 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Kompensasi dan/atau Bantuan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular dan Tata Cara Pemberian Kompensasi Hewan Sehat Akibat Depopulasi.
Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (DPKH) Gunungkidul, Wibawanti Wulandari, menyatakan bahwa ada tujuh jenis penyakit menular pada hewan yang menjadi dasar pemberian kompensasi.
Ketujuh penyakit tersebut adalah antraks, penyakit mulut dan kuku (PMK), lumpy skin disease (LSD) atau lato-lato, septicaemia epizootica, brucellosis, parasit darah, dan infectious bovine rhinotracheitis (IBR-IPV).
“Untuk sapi, ketujuh penyakit tersebut berlaku semua. Sedangkan untuk kambing dan domba, jenis penyakit yang ditanggung adalah antraks, PMK, parasit darah, dan brucellosis,” kata Wibawanti saat dihubungi melalui telepon, Rabu (21/5/2025).
Meski demikian, peternak harus memenuhi sejumlah persyaratan administratif apabila ingin mengajukan kompensasi.
Persyaratan tersebut antara lain surat keterangan kepemilikan ternak, hasil pemeriksaan laboratorium, serta dokumentasi yang membuktikan bahwa ternak telah dikubur sesuai standar operasional yang berlaku.
Selain untuk ternak yang mati akibat penyakit menular, kompensasi juga diberikan bagi hewan ternak yang mati setelah menerima vaksinasi.
“Ternak yang mati setelah vaksinasi juga kami berikan kompensasi. Namun tetap dilakukan monitoring oleh petugas kami di lapangan,” tambahnya.
Wibawanti menjelaskan bahwa besaran kompensasi yang diterima peternak akan bervariasi, tergantung pada kondisi dan usia hewan ternak yang mati.
"Bantuan untuk sapi atau kambing yang mati akibat penyakit menular maksimal Rp5 juta per ekor, dengan penyesuaian berdasarkan tingkatan umur. Sedangkan untuk ternak yang mati setelah vaksinasi, besarannya maksimal Rp10 juta per ekor," pungkasnya.****