Berita , D.I Yogyakarta
Refleksi Idul Adha, Haedar Nashir: Ibadah Kurban Momentum Membebaskan Diri dari Pesona Duniawi

HARIANE – Menjelang Idul Adha 1446 Hijriah, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, memberikan refleksi bagi umat Islam.
Haedar mengatakan, syariat lahiriah dalam momentum Idul Adha adalah menyembelih hewan kurban.
Namun, makna terdalam dari ibadah ini tercermin dalam firman Allah: "Lan yanāla Allāha luhūmuhā wa lā dimā'uhā wa lākin yanāluhū at-taqwā minkum" (Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai keridaan Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya).
“Maka makna terdalamnya, apa yang kita miliki dalam kehidupan ini—baik harta, kekuasaan, maupun segala kesenangan yang kita peroleh—sebenarnya nisbi. Allah SWT mengajarkan kepada kaum beriman: ‘berkurbanlah’, manfaatkan harta dan segala hal duniawi itu untuk kepentingan beribadah dan kemaslahatan orang banyak, bukan untuk dimiliki, ditumpuk-tumpuk, bahkan dengan rasa rakus ingin hidup serba gelimang duniawi,” tutur Haedar, Kamis (5/6/2025).
Menurutnya, ibadah kurban mengajarkan umat Islam untuk melepaskan apa yang sudah dimiliki.
Dengan demikian, sejatinya mereka yang berkurban telah membebaskan jiwa, hati, pikiran, rasa, dan segala yang dimiliki lillāhi ta‘ālā demi meraih rida dan karunia Allah SWT.
Haedar juga menuturkan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk menguasai segalanya. Harta, kekuasaan, dan segala pesona dunia takkan pernah membuat puas—bahkan dengan cara yang tidak halal, seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan berbagai perilaku tamak.
“Manusia yang rakus, dengan segala pesona duniawi, tidak akan pernah merasa cukup, sampai Tuhan menghentikan ajalnya: alhākumut-takāthur, ḥattā zurtumul-maqābir,” katanya.
Maka bagi Haedar, di sinilah letak pentingnya setiap orang beriman, di mana pun berada—baik saat berkurban maupun tidak—untuk mengoreksi diri: apakah kita termasuk orang yang mengaku beriman tetapi tak pernah puas dalam hidup, lalu menjadi insan yang serakah, tamak, takabur, dan penuh ambisi yang melampaui batas, hingga lupa akan kebenaran, kebaikan, serta nilai-nilai luhur dalam fondasi ketakwaan.
“Lepaskan segala kepentingan demi kebenaran, kebaikan, dan keluhuran, serta untuk kemaslahatan hidup orang banyak. Jika itu bisa dilakukan, maka berkurban berarti telah membebaskan kita dari segala pesona duniawi, untuk hidup yang cukup dan moderat—namun membawa kemaslahatan duniawi dan ukhrawi,” tandasnya.****