Berita , D.I Yogyakarta
Jadi Simbol Perlawanan Anak Muda, Tiga Karya George Orwell Dibahas di Pasar Buku Sastra FSY 2025

HARIANE – Diskusi bertajuk "Orwell dan Dunia Sastra Indonesia" mengisi hari pertama Pasar Buku Festival Sastra Yogyakarta (FSY) di Grha Budaya Embung Giwangan, Rabu (30/7/2025).
Selama lebih dari dua jam, tiga narasumber yang mengisi sesi intelektual ini membedah pengaruh pemikiran George Orwell terhadap lanskap sastra dan realitas sosial-politik Indonesia.
Adapun tiga karya yang menjadi sorotan yaitu novel best seller 1984, Animal Farm, dan Gerundelan Penulis Kere.
Ketiga karya tersebut dibacakan sebagai refleksi tentang politik bahasa, kontrol narasi, dan relasi kuasa dalam kehidupan masyarakat kontemporer.
“1984 mulai ramai dibaca sekitar 2005, bersamaan dengan Animal Farm. Saat itu, buku-buku Orwell menjadi semacam simbol perlawanan anak muda yang turun ke jalan,” kata An Ismanto.
“Orwell adalah penulis yang secara eksplisit memihak. Sikap politiknya sangat jelas, dan karena itulah karyanya tetap relevan bagi generasi saat ini, terutama Gen Z yang hidup dalam sistem kontrol tak kasat mata—bukan negara, tapi korporasi,” sambungnya.
Sesi ini tidak hanya berisi diskusi, tetapi juga pembacaan performatif. Dyaz Infoly membuka dengan kutipan sastra Arab bertema kebebasan dan kekuasaan.
An Ismanto membacakan puisinya berjudul Anakku, yang merefleksikan warisan sikap kritis lintas generasi.
Sementara Erika Rizqi mengutip bagian ikonik dari 1984 untuk menggugah kesadaran akan realitas yang dikonstruksi melalui bahasa dan narasi kuasa.
Erika juga berbagi kisah personal saat pertama kali membaca karya Orwell pada 2017, ketika geliat literasi di Yogyakarta tengah tumbuh subur.
Ia mengaku merasa seolah “bercermin”, menyadari keterkaitan antara kehidupan pribadi dan kondisi politik.
“Karya Orwell menunjukkan bahwa perubahan sosial kerap dimulai dari bahasa. Kita harus sadar siapa yang membentuk narasi, karena dari sanalah kekuasaan bekerja,” terang Erika.