Berita , Teknologi
Di Era AI, Wanita Makin Beresiko Jadi Korban Sextortion dan Deepfake Pornografi
Dilansir dari q5id, dalam sebuah program "video rewrite", mereka berhasil mengubah rekaman video seseorang yang terlihat mengucapkan kata-kata yang sebenarnya tidak diucapkannya dalam versi asli.
Program ini merupakan sistem pertama yang sepenuhnya mengotomatisasi reanimasi wajah.
Namun di tahun 2014, deepfake melangkah pada next level. Penemuan Generative Adversarial Networks (GAN) oleh Ian Goodfellow memungkinkan pembuatan video palsu menjadi lebih baik.
GAN sendiri terdiri dari dua agen kecerdasan buatan (AI). Satu agen menciptakan gambar palsu dan yang lain berusaha mendeteksi pemalsuan tersebut.
Ketika agen melihat gambar palsu, AI pembuat pemalsu beradaptasi dan meningkatkan kualitasnya.
Kemampuan AI mensintesis media dengan cara menempatkan fitur-fitur manusia pada tubuh orang lain (bahkan memanipulasi suara) mampu menghasilkan foto dan video yang realistis.
Maka, Deepfake pornografi secara mudah bisa diterjemahkan sebagai rekayasa foto dan video untuk tujuan pembuatan foto dan video eksplisit yang tentu saja merugikan korbannya.
Sialnya, Algoritma AI yang makin canggih ini merupakan teknologi berbasis "open source" yang membuat banyak pengembang aplikasi berlomba-lomba memproduksi dan memasarkannya ke publik secara gratis.
Karena mudahnya mengkases, maka kasus penyalahgunaan AI untuk membuat konten deepfake pornografi juga meningkat.
Entah dengan alasan "sekedar iseng" atau motif lain seperti Sextortion.
Relasi Deepfake Pornografi dan Sextortion
Perkembangan AI dalam kemampuannya menciptakan deepfake, diyakini akan meningkatkan sextortion dengan wanita sebagai mayoritas korban deepfake pornografi.