Berita , D.I Yogyakarta
Indonesian Dance Festival Digelar di Yogyakarta, Tampilkan Karya dari 5 Koreografer Muda
HARIANE - Indonesian Dance Festival (IDF) kembali dihelat di mana kali ini melawat ke Yogyakarta tepatnya di Studio Banjarmili, Kabupaten Sleman.
Mengusung tema Lawatari, festival tari keliling ini diselenggarakan 19-21 Januari 2024 dengan rangkaian kegiatan lima pertunjukan, dua masterclass dan lokakarya, serta satu bincang tari.
Tema tersebut merupakan gabungan dari kata lawat dan tari yang menyiratkan semangat melawat ke kantong-kantong seni pertunjukan di Indonesia dan menjalin keterhubungan melalui penampilan karya dan program-program yang mendukung perkembangan ekosistem seni pertunjukan di Indonesia.
Konsisten dilaksanakan sekitar 30 tahun terakhir, IDF kali ini berkolaborasi dengan RIKMA (Ruang Inisiatif Karya Bersama), sebuah program inkubasi yang diinisiasi oleh Mila Art Dance (MAD) Lab, Paradance Platform, dan Studio Banjarmili.
Direktur IDF, Ratri Anindyajati menyampaikan, Lawatari: Yogyakarta memberi kesempatan bagi tim kerja IDF untuk melihat dan belajar dari dekat praktik-praktik inkubasi karya, tata kelola dan pelatihan yang dijalankan oleh MAD Lab, Paradance Platform, dan Studio Banjarmili yang berperan sebagai mitra dalam program ini. Organisasi dengan fokus pada proses pembuatan karya, transfer ilmu dan pelatihan untuk pegiat tari muda sangat penting bagi pertumbuhan ekosistem tari di Indonesia.
“Semangat ini sejalan dengan salah satu misi IDF yang terwujud lewat program inkubasi Kampana, di mana kami memfasilitasi koreografer muda untuk mengembangkan karya dengan bimbingan tim kurator festival,” kata Ratri, Jumat, 21 Januari 2024.
Penggagas MAD Lab, Mila Rosinta Totoatmojo mengatakan, Lawatari: Yogyakarta ini merupakan platform yang baik untuk memperkenalkan karya-karya mereka pada praktisi dan pencinta tari.
Dalam penyelenggaraannya, ada lima koreografer yang menunjukkan karya tari kontemporer, yaitu Megatruh Banyu Mili, Ni Putu Arista Dewi, Sri Cicik Handayani, Valentina Ambarwati, dan Siti Alisa.
“Lima karya ini memiliki karakteristik yang sangat berbeda, dan ini akan menjadi karya bagi kesenian Indonesia,” terang Mila.
Inisiator Paradance Platform, Nia Agustina menyampaikan program Lawatari: Yogyakarta adalah kesempatan bagi mereka untuk saling melihat cara kerja masing-masing dalam visi bersama mendukung koreografer muda.
“Ini dapat menjadi awal yang baik untuk menyadari bahwa dengan infrastruktur dan alam kesenian terutama seni tari di Indonesia, kita perlu melakukan kerja yang saling terhubung untuk mendukung karya seorang seniman,” kata Nia.
Salh satu koreografer, Sri Cicik Handayani mengungkapkan dalam pertunjukan ini ia membawakan karya berjudul Atandang atau menari dalam Bahasa Madura.