Berita , D.I Yogyakarta
Kisah Mbah Tupon, Lansia Buta Huruf Ditipu hingga Terancam Kehilangan Tanah dan Bangunan
HARIANE - Di usia senjanya yang ke-68, penglihatan pria renta itu telah meredup, menyisakan kegelapan yang kian pekat. Namun, kegelapan yang sesungguhnya kini justru mengancam merenggut satu-satunya yang tersisa. Yakni sebidang tanah dan bangunan.
Namanya Mbah Tupon, ia tinggal di Dusun Ngentak, Kalurahan Bangunjiwo, Kapanewon Kasihan, Bantul. Kesehariannya berladang dan mengurus ternak.
Sejak beberapa waktu yang lalu, kasus yang dia alami mulai ramai dibicarakan. Mbah Tupon diduga telah ditipu daya oleh sejumlah orang yang memanfaatkan ketidaktahuannya untuk bisa menguasai tanah miliknya. Ya, Mbah Tupon tidak bisa membaca dan menulis, pendengarannya pun juga sudah berkurang.
Anak sulung Mbah Tupon, Heri Setiawan (30) mengisahkan duduk perkara yang sedang dialami keluarganya. Kala itu, di tahun 2020, ayahnya menjual sebagian dari tanah yang dimiliki seluas 2.103 meter persegi kepada seseorang tetangganya, berinisial B.
Ia menjual tanahnya seluas 298 meter persegi dengan harga Rp 1 juta per meter persegi. Dalam kesempatan lain, Tupon juga menghibahkan tanahnya untuk akses jalan dan digunakan sebagai gudang RT.
Semua tanah itu kemudian dipecah dari sertifikat awal hingga menyisakan lahan seluas 1.655 meter persegi. Di lahan inilah Tupon dan keluarganya tinggal.
Selang beberapa bulan kemudian, B menawarkan kepada Tupon untuk memecah sertifikat menjadi beberapa bidang, yakni untuk Tupon dan tiga orang anaknya.
Semua biaya yang timbul akan ditanggung oleh B sepenuhnya, dengan mempertimbangkan sisa utang pembelian tanah kepada Tupon senilai Rp 35 juta.
"Sejak awal memang pembayarannya dilakukan secara angsuran. Jadi bapak, masih punya Rp 35 juta di B," kata Heri.
Atas tawaran itu, Tupon setuju. Ia menyerahkan sertifikat kepada B. Ia juga sempat diajak dua kali ke tempat berbeda oleh orang suruhan B untuk menandatangani sejumlah dokumen. Sayangnya, saat itu ia tidak didampingi anaknya.
"Bapak kurang tahu apa yang ditandatangani, soalnya tidak bisa baca tulis. Dokumen juga nggak dibacakan, tahunya cuma proses pecah sertifikat," ucapnya.
Seiring berjalannya waktu, sertifikat tak kunjung datang. Beberapa kali ditanyakan, Tupon hanya mendapatkan jawaban seadanya.