Berita , Budaya
Cerita Mpu Godho Priyantoko Penjaga Warisan Budaya Kerajinan Keris Gunungkidul
HARIANE - Namanya Supriyanto, namun masyarakat lebih mengenalnya sebagai Mpu Godho Priyantoko (43).
Di balik senyum tenangnya, ia menyimpan kisah perjalanan panjang sebagai seorang perajin keris yang telah ditempuh selama belasan tahun.
Tinggal di Kalurahan Karangtengah, Kapanewon Wonosari, Gunungkidul, Mpu Godho bukan sekadar pengrajin, tetapi penjaga tradisi yang diwariskan turun-temurun.
Sejak kecil, ketertarikannya pada keris sudah tumbuh. Kakek dan kerabatnya memiliki pusaka itu, dan setiap kali melihatnya, ada rasa kagum yang sulit dijelaskan. Seiring waktu, rasa penasaran itu berubah menjadi kecintaan.
Ia mulai mempelajari filosofi keris, makna pamor, dan teknik pembuatannya, hingga akhirnya menekuni seni tempa lipat, teknik rumit yang membutuhkan kesabaran dan ketelitian tinggi.
"Dulu saya hanya sekadar melihat dan mengagumi, tapi makin lama, saya ingin tahu lebih dalam. Bagaimana keris dibuat, apa maknanya, dan bagaimana sebuah logam bisa memiliki nyawa," kenangnya.
Proses pembuatan keris bukanlah pekerjaan sehari dua hari. Butuh perpaduan besi, baja, dan nikel yang ditempa berkali-kali hingga membentuk pamor unik.
Keris buatannya bukan sekadar hiasan, tetapi ageman—keris pegangan yang memiliki nilai spiritual tinggi.
Ada ritual khusus yang harus dilakukan dalam pembuatannya, menyesuaikan waktu dan kondisi tertentu.
"Ada waktu tertentu untuk pembuatannya. Ada banyak hal yang harus disesuaikan. Jadi dalam setahun biasanya hanya beberapa saja yang saya buat, ya mungkin lebih dari 10 keris," tandasnya.
Setiap keris yang ia buat memiliki makna mendalam. Pamor seperti Wos Utah, Pedharingan Kebak, Udan Mas, hingga Ngulit Semangka bukan hanya sekadar ukiran, tetapi memiliki filosofi tersendiri—simbol harapan, kesejahteraan, dan perlindungan bagi pemiliknya.
Bagi Mpu Godho, keris bukan hanya logam yang ditempa, tetapi doa dan harapan yang diwujudkan dalam bentuk nyata.