Berita , D.I Yogyakarta
Tak Bisa Beroperasi, Kelompok Penambang Progo Kesulitan Cari Izin
HARIANE – Kelompok Penambang Progo (KPP) mengaku kesulitan mendapatkan izin Penambangan Rakyat (IPR). Dampaknya, mereka tak bisa beroperasi karena terganjal regulasi yang ada.
Ketua KPP, Yunianto, mengatakan bahwa kebijakan baru IPR yang melarang penggunaan pompa mekanik dinilai diskriminatif.
Di samping itu, regulasi yang sering berubah-ubah juga semakin menyulitkan mereka dalam memperoleh legalitas.
Ia mengatakan bahwa perubahan Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009 menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 membuat proses perizinan semakin sulit. Peraturan ini mengalihkan kewenangan perizinan IPR dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat.
"Karena pemerintah pusat tidak bisa mengurus seluruh Indonesia, sampai sekarang belum ada izin yang diterbitkan," tuturnya saat ditemui belum lama ini.
Selain itu, ia menyayangkan adanya peraturan yang melarang penambang rakyat menggunakan mesin pompa mekanik dengan kapasitas di bawah 25 PK.
Dalam aturan baru, mereka hanya diperbolehkan menambang menggunakan cara dan alat manual.
"Ini tidak manusiawi. Sekarang petani saja sudah menggunakan traktor, masa kami harus pakai linggis," tuturnya.
Yunianto menyebutkan bahwa saat ini ada sekitar 98 kelompok penambang Progo, masing-masing terdiri dari lima orang atau lebih. Namun, karena belum mendapatkan izin, mereka terpaksa menganggur.
"Sebetulnya, yang terdampak itu bukan hanya penambang, tapi juga sopir, pedagang makanan, dan tentunya keluarga kami," katanya.
Pengurus KPP Lendah, Kulon Progo, Amin Kustomo, menyampaikan bahwa penghentian operasional tambang di wilayah Progo bukan hanya mematikan aktivitas pekerja tambang, tetapi juga melemahkan perekonomian masyarakat sekitar.
"Sekarang aktivitas pasar di sekitar sana cenderung sepi. Dulu masih ramai karena tambang rakyat masih berjalan," ujarnya.