Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa antusiasme warga untuk menyelenggarakan pementasan menunjukkan bahwa tradisi ini masih memiliki tempat istimewa di hati masyarakat Gunungkidul.
“Kami berharap tradisi ini terus lestari dan semakin banyak generasi muda yang mau belajar pedalangan,” jelasnya.
Saat ini, ada sekitar 70 dalang dari Gunungkidul yang aktif sebagai anggota Perpadi. Tarif mereka pun beragam dalam sekali pertunjukan, tergantung pada jam terbang atau pengalaman mereka dalam dunia pedalangan.
“Ada yang Rp17 juta, ada juga yang sampai Rp28 juta. Rata-rata Rp20 juta,” tandasnya.
Heri mengatakan, Rasul bukan hanya sekadar budaya. Ada beberapa nilai esensial seperti berbagi atau sedekah, bersyukur, hingga menggerakkan ekonomi lokal.
Dengan adanya sejumlah pertunjukan, secara praktis banyak orang datang menonton dan berjualan, sehingga terjadi perputaran uang di lokasi tersebut.
“Kami bersyukur, para dalang diundang masyarakat untuk memberikan hiburan dan menyampaikan nilai-nilai kebaikan. Rasulan juga mendorong roda ekonomi pedagang sekitar,” jelas Heri.
Diberitakan sebelumnya, tradisi Rasul memiliki tujuan sebagai selamatan atau ungkapan syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas hasil panen yang melimpah dalam satu tahun terakhir.
Selain itu, juga sebagai bentuk tolak bala atau harapan agar setahun ke depan pertanian lebih makmur.
Dalam pelaksanaan Rasul atau Rasulan ini, masing-masing kalurahan hingga padukuhan memiliki hari pelaksanaan yang berbeda. Sejak zaman dulu, harinya tidak pernah diganti karena dianggap sebagai hari yang sakral.
“Pelaksanaan Rasul biasanya dilakukan pasca panen raya. Ini merupakan cara masyarakat untuk sedekah bumi atas hasil panen yang diperoleh,” kata Kepala Kundha Kabudayan Gunungkidul, Chairul Agus Mantara.
Penentuan tanggalnya pun mengacu pada hitungan Jawa yang dianggap sebagai tanggal baik untuk pelaksanaan Rasul. Sebagai contoh, Jumat Legi, Minggu Pahing, dan lainnya.